Oleh: H Musa Shofiandy │
MENINGKATNYA eskalasi politik di Indonesia di akhir bulan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ini yang diwarnai dengan adanya unjuk rasa/demonstrasi besar-besaran sejak tanggal 25 Agustus 2025 dan puncaknya pada tanggal 30 Agustus 2025.
Demonstrasi tidak hanya berlangsung di Ibukota Negara (Jakarta) tapi juga hampir di semua daerah di Indonesiaa. Pada awalnya demonstrasi tersebut didasari oleh/dengan adanya Keputusan DPR RI untuk meningkatkan kesejahteraan para anggota Wakil Rakyat, yang oleh masyarakat dianggap sebagai keputusan yang kontroversial dengan sikon (situasi dan kondisi) sebagian besar masyarakat Indonesia, ditambah lagi dengan ungkapan/ucapan yang dikeluarkan oleh beberapa anggota DPR RI yang mendukung peningkatan pendapatan para anggota DPR RI dan malah ada yang sampai mengeluarkan ucapan yang menyayat dan menyakiti hati nurani masyarakat.
Berbagai Keputusan DPR RI yang berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para anggota DPR RI itu sangat kontroversial dengan kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidup dalam serba kesusahan. Berbagai macam dan bentuk peningkatan pendapatan dan/atau tunjangan yang didapatkan oleh setiap anggota DPR RI setiap bulannnya, selain gaji antara lain:
I. Tunjangan Melekat:
1. Tunjangan istri/suami Rp420.000
2. Tunjangan anak (maksimal 2 anak) Rp168.000
3. Tunjangan sidang/paket Rp2.000.000
4. Tunjangan jabatan Rp18.900.000 (ketua), Rp15.600.000 (wakil ketua), dan Rp9.700.000 (anggota).
5. Tunjangan beras (4 jiwa) Rp198.000
6. Tunjangan PPH Pasal 21 Rp1.729.000 sampai Rp2.699.813
II. Tunjangan Lain:
1. Tunjangan Kehormatan Ketua Badan/Komisi: Rp6.690.000, Tunjangan Kehormatan Wakil Ketua: Rp6.460.000, Anggota DPR RI: Rp5.580.000
2. Tunjangan Komunikasi intensif untuk Ketua Badan/Komisi: Rp16.468.000, Tunjangan Komunikasi Intensif untuk Wakil Ketua: Rp 16.009.000, Tunjangan Komunikasi Intensif untuk Anggota: Rp15.554.000
3. Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan untuk Ketua Komisi/Badan: Rp5.250.000, Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan untuk Wakil Ketua: Rp4.500.000, Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan untuk Anggota: Rp3.750.000
4. Bantuan langganan listrik dan telepon: Rp7.700.000
5. Fasilitas kredit mobil Rp70.000.000 per orang per periode
6. Asisten Anggota Rp2.250.000
7. Tunjangan Perumahan Rp50.000.000
III. Ongkos Perjalanan Anggota DPR RI
1. Uang Harian daerah tingkat I (per hari) Rp5.000.000
2. Uang Harian daerah tingkat II (per hari) Rp4.000.000
3. Uang representasi daerah tingkat I (per hari) Rp4.000.000
4. Uang representasi daerah tingkat II (per hari) Rp3.000.000
Dengan melihat besarnya pendapatan yang diperoleh oleh setiap Anggota Wakil Rakyat (DPR RI) inilah yang manyulut kemarahan masyarakat yang kemudian masyarakat melakukan unjuk rasa/demonstrasi dengan menuntut agar DPR RI dibubarkan, sebuah tuntutan yang amat sangat sulit untuk bisa terealisasikan karena menyangkut dengan sistem ketatanegaraan dalam Pemerintahan kita Republik Indonesia.
Lalu solusi apa yang kira-kira harus dilakukan untuk dapat mengubah agar peran serta dan kewenangan DPR RI dalam menentukan dan atau memutuskan sebuah kebijakan tidak berpengaruh signifikan dengan apa yang diinginkan oleh DPR RI ? Karena dengan keberadaan DPR RI sesuai dengan Tupoksinya sangat berpengaruh terhadap berbagai ketentuan peraturan yang akan dibuat dan diputuskan untuk diberlakukan dalam Pemerintahan.
Pertanyaan kita, kenapa DPR RI begitu mudah menetapkan besarnya anggaran untuk DPR RI (para anggota DPR RI) ? Jawaban singkatnya adalah bahwa setiap kali ada pembuatan dan penetapan Peraturan Perundang-undangan dan atau kebijakan lainnya yang diajukan oleh Pemerintah (Eksekutif), maka penetapannya harus melalui persetujuan DPR RI. Demikian juga sebaliknya bila ada Rancangan Undang-Undang dan/atau peraturan yang merupakan inisiatif dari DPR RI, maka harus mendapat persetujuan dari Pemerintah (Eksekutif).
Di sinilah letak adanya/terjadinya saling tawar antara Pemerintah (Eksekutif) dengan DPR RI (Legislatif). Demikian pula halnya di tingkat daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota, terjadi saling ketergantungan antara eksekutif dengan legislatif.
Besarnya peran keberadaan DPR RI (DPRD) inilah yang menyebabkan keleluasan dari legislatif untuk mengajukan dan atau menetapkan berbagai ketentuan yang akan diberlakukan.
Menurut pemikiran penulis, satu hal yang bisa dan harus dilakukan untuk mengurangi (meminimalisir) peran dan kewenangan dari lembaga legislatif (DPR RI/DPRD) adalah dengan mengurangi jumlah anggota DPR RI/DPRD dan menambah jumlah anggota yang merupakan perwakilan langsung (dipilih langsung) oleh rakyat tanpa melalui partai politik. Untuk di tingkat pusat memang sudah ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) yang dipilih langsung oleh rakyat, namun jumlahnya masih sangat minim, tidak berimbang dengan jumlah anggota DPR RI.
Dari sejumkah 732 anggota MPR RI, yang berasal dari anggota DPR RI sebanyak 580 orang dan dari DPD RI sebanyak 152 orang. Perbandingan yang cukup menyolok, dengan jumlah anggota DPD RI sebanyak 152 orang ini, ditambah lagi dengan Tupoksi yang diberikan/diemban oleh para anggota DPD RI tidak sama dengan Tupoksi yang ada dan diembang oleh anggota DPR RI. Maka, keberadaan DPD RI tidak mungkin akan bisa/dapat mengimbangi keinginan para anggota DPR RI.
Demikian juga halnya di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang semua anggota DPRD adalah merupakan perwakilan partai politik, tidak ada perwakilan langsung dari rakyat/masyarakat seperti halnya DPD RI di tingkat pusat.
Dengan kondisi seperti ini, maka setiap kali ada pengambilan Keputusan oleh/di DPR RI/ DPRD, maka sudah pasti lebih dari 50 persen anggota DPR RI/ DPRD akan menyetujui dan atau tidak menyetujui rancangan Keputusan yang diajukan dan dibahas.
Dengan demikian, maka apapun rancangan peraturan yang akan diajukan, lebih-lebih terkait dengan peningkatan kesejahteraan anggota DPR RI/DPRD pasti akan mendapatkan persetujuan dari DPR RI/DPRD.
Untuk mengurangi peran DPR RI inilah, maka jumlah anggota DPR RI dikurangi dan anggota DPD RI ditambah dengan jumlah yang berimbang (sama). Dari 732 orang anggota MPR RI, 50 persennya (366 orang) berasal dari Parpol dan 50 persen (366 orang) anggota DPD RI yang dipilih langsung oleh rakyat. Demikian juga di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota), hendaknya diadakan anggota wakil rakyat yang beradal dari perseorangan (dipilih langsung oleh rakyat, tanpa melalui Parpol. Misalnya kalau jumlah anggota DPRD di satu provinsi 100 orang, maka wakil rakyat yang berasal dari partai politik sebanyak 50 orang dan dari perseorangan 50 orang.
Bila Jumlah wakil rakyat 60 orang, maka 30 orang berasal dari partai politik dan 30 orang dari perseorangan, dan seterusnya.
Dengan melalui cara ini, maka keberadaan anggota DPR RI/DPRD seperti yang kita lihat dan alami saat ini tidak lagi menjadi wakil rakyat yang memiliki peran dan kewenangan yang amat besar, karena adanya kesimbangan antara wakil rakyat yang berasal dari Parpol dan adanya wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat (masyarakat).
Untuk mekanisme penentuan jumlah anggota DPD RI sebaiknya tidak menggunakan/menerapkan cara dan mekanisme seperti ini yakni dengan membagi rata jumlah anggota DPD RI dari masing-masing provinsi sebanyak 4 (empat) orang, tapi dilakukan dengan cara/mempertimbangkan jumlah penduduk (pemilih) di tiap-tiap provinsi.
Demikian juga dengan penentuan jumlah anggota DPD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota bisa dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk di tiap-tiap wilayah/daerah.(*)
Penulis adalah Sekretaris Umum IKMAPALA