JAKARTA, LOMBOKTODAY.ID – Komite III DPD RI menilai dinamika perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perhatian serius. Ironisnya, kesenjangan akses dan kualitas pendidikan tinggi antara wilayah barat dan timur Indonesia masih menjadi isu yang mengemuka.
‘’Distribusi perguruan tinggi berkualitas belum merata, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Hal ini berdampak pada terbatasnya kesempatan masyarakat di daerah untuk mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas,’’ ucap Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma saat rapat kerja (Raker) dengan Mendiktisaintek RI, Satryo Soemantri Brodjonegoro, di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Filep juga menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM), terutama di perguruan tinggi daerah. Selain itu, penguatan riset dan inovasi daerah juga menjadi kunci untuk membangun ekosistem inovasi yang berkelanjutan. ‘’Pengembangan pusat-pusat unggulan riset di daerah serta peningkatan kolaborasi antara perguruan tinggi dengan industri lokal harus menjadi fokus kita,’’ tegas Filep.
Lebih lanjut, Filep menekankan, pentingnya relevansi program pendidikan tinggi dengan kebutuhan daerah melalui penyesuaian program studi dan pengembangan kurikulum berbasis kearifan lokal. ‘’Optimalisasi peran pemerintah daerah dalam pengembangan pendidikan tinggi juga perlu terus didorong untuk menciptakan sinergi yang lebih baik antara pusat dan daerah,’’ tukasnya.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan bahwa di daerah pemilihannya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) banyak bertaburan perguruan tinggi. Namun, ia merasa prihatin karena masih banyak masyarakat lokal yang belum bisa menikmati bangku kuliah. ‘’Padahal kita bisa mengejar ketinggalan pendidikan di Yogyakarta. Kami berharap mutu pendidikan di Yogyakarta bisa ditingkatkan,’’ paparnya.
Sementara Wakil Ketua Komite III DPD RI, Dailami Firdaus mengusulkan seharusnya perguruan tinggi negeri (PTN) bisa menambah kuota penerimaan mahasiswa. Sedangkan untuk perguruan tinggi swasta bisa mengfokuskan pada kualitas pendidikannya. ‘’Untuk perguruan tinggi negeri harusnya bisa menerima lebih banyak mahasiswa. Untuk yang swasta bisa difokuskan pada kualitas pendidikan,’’ harapnya.
Anggota DPD RI asal Provinsi Lampung, Ahmad Bastian menjelaskan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pada tahun 2022 hanya 6,4 persen masyarakat Indonesia yang bisa mengeyam pendidikan sampai perguruan tinggi.
Artinya, pada massa depan nanti hanya segelintir orang yang mengatur bangsa Indonesia baik tingkat desa hingga pejabat tinggi. ‘’Analoginya yang membuat nasib Indonesia baik atau tidak ditentukan 6,4 persen ini. Ini seharusnya hanya menjadi catatan penting kita semua,’’ lontarnya.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro mengakui bahwa kesenjangan akses pendidikan tinggi antara wilayah barat dan timur Indonesia mencerminkan disparitas dalam upaya pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi daerah dan di wilayah 3T masih relatif rendah. ‘’Ini disebabkan keterbatasan infrastruktur pendidikan, tingkat kemiskinan, kurangnya kesempatan kerja, letak geografis, akses teknologi, dan lainnya. Maka, diperlukan kebijakan terpadu dan keterlibatan multi-pihak untuk menjamin pemerataan akses,’’ imbuhnya.
Mendiktisaintek juga menyinggung sejauh ini daerah yang paling tinggi APK-nya yaitu Banten 148,61 persen dengan perhitungan jumlah yang kuliah dibagi populasi penduduk. Sementara untuk urutan terbawah Provinsi Bangka Belitung dengan 16,53 persen. ‘’Bagaimana mengatasinya?, kita membuat strategi program afirmasi beasiswa, peningkatan kualitas pendidikan, kapasitas perguruan tinggi lokal, pengembangan akademi pemerintah daerah, dan lain-lain,’’ ujarnya.(arz)