JAKARTA, LOMBOKTODAY.ID – Wacana libur sekolah selama satu bulan penuh di bulan Ramadan menjadi perbincangan hangat. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) RI, seolah ingin melihat dan mendengar pendapat masyarakat secara random. Namun, sepanjang pemerintah mengeluarkan kebijakan, selalu ada pro dan kontra. Oleh sebab itu, penting ditekankan untuk menghormati kedua pendapat tersebut.
Hal itu disampaikan Anggota DPD RI, Dr H Hilmy Muhammad, M.A. Menurut Senator Gus Hilmy, demikian Dr H Hilmy Muhammad, M.A biasa disapa, pendapat yang sudah beredar menjadi masukan penting bagi pemerintah sebelum membuat keputusan. Dalam 12 bulan, kata Gus Hilmy, 1 (satu) bulan untuk pembinaan spiritual dan karakter anak, itu tidak menjadi masalah.
‘’Pro dan kontra biasa. Setiap kebijakan pasti keduanya itu muncul. Harus dihormati sebagai masukan bagi Kemenag dalam membuat keputusan. Kebijakan ini bagus dan perlu disambut baik, karena mengajarkan esensi puasa kepada siswa. Dalam 12 bulan selama setahun itu, mari kita berikan satu bulan penuh untuk lebih menebalkan spiritual dan karakter anak. Anda punya selusin, diminta satu nggak apa-apa kan? Itu pun untuk kepentingan anak-anak,’’ kata Senator Gus Hilmy, melalui keterangan tertulis, Sabtu (4/1/2025).
Menurut Senator dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut, kebijakan itu sebaiknya bersifat sunnah mu’akkadah atau anjuran penting untuk dilaksanakan di sekolah. Gus Hilmy menyoroti pendapat kontra umumnya datang dari masyarakat perkotaan.
‘’Kebijakan ini tentu tidak jadi masalah bagi pesantren dan masyarakat di desa, tapi di perkotaan ini dilematis. Satu sisi ini kesempatan bagi keluarga dan pendidikan karakter anak, di sisi lain orang tua khawatir tidak bisa mengawasi anaknya karena berbagai kesibukannya. Tapi sekali lagi, sebulan saja dari 12 bulan untuk bersama anak. Tinggal dibuat kesepakatan dengan anak atau cari formula yang tepat sesuai dengan parenting yang diikuti,” jelas Gus Hilmy.
Untuk membantu orang tua, sekolah dapat membuat program sekolah pesantren sebagaimana pernah dilakukan pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. ‘’Prinsipnya mengalihkan pembelajaran, yang semula diajarkan mata pelajaran, pada bulan Ramadan diselenggarakan sekolah pesantren. Di masa Gus Dur dulu kan begitu. Di samping itu, siswa diberi tugas catatan kecil harian yang diserahkan kepada guru besok harinya. Ini menjadi dasar pemantauan guru atau dasar memberi nilai,” ungkap Katib Syuriyah PBNU tersebut.
Mengapa mengadopsi konsep pesantren? Gus Hilmy menjelaskan, bahwa metode pengajaran di pesantren telah teruji bertahun-tahun dengan kurikulum yang paten. Tidak hanya diajar, di pesantren menurut Gus Hilmy, juga diberikan teladan.
‘’D pesantren tidak hanya diajari, tapi juga dibimbing dan diberi contoh langsung. Tidak hanya diomongi, tapi juga dilakoni atau dipraktikkan. Karena itu, pesantren punya garansi lebih besar dalam keberhasilan membentuk karakter anak didik,” jelas Gus Hilmy.
Libur sekolah selama sebulan penuh di bulan Ramadan, menurut Gus Hilmy, juga menguntungkan bagi guru untuk meningkatkan ibadah. Bagi sekolah-sekolah umum, usul Gus Hilmy, bisa bekerja sama dengan pesantren untuk merancang sekolah pesantren.
‘’Bahkan jika perlu, sekolah bisa mendorong para orang tua untuk memondokkan anaknya selama bulan Ramadan. Sekolah membantu memberikan alternatif pesantren. Di pesantren sendiri, siswa akan dikenalkan dengan cross cultural understanding atau memahami perbedaan budaya dan latar belakang santri lain, yang memungkinkannya lebih bisa toleran dan mampu beradaptasi terhadap perbedaan. Di situlah nanti orang tua akan merasakan perbedaan sikap anak kepada orang tua atau orang yang sepantasnya dihormati,” ungkap Gus Hilmy.
Dilema yang lain, lanjut Anggota MUI Pusat tersebut, bagi sekolah umum yang latar belakang siswanya berbeda-beda atau sekolah non-muslim. Apa kegiatan mereka selama libur Ramadhan? ‘’Prinsipnya sama. Sekolah membantu siswanya untuk mengajarkan spiritualitas dan pendidikan karakter anak. Karena masalah bangsa kita hari ini adalah mental health, dan sebulan untuk menguatkan mental menghadapi sebelas bulan berikutnya,” kata Gus Hilmy yang merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Alternatif lainnya, tambah Gus Hilmy, siswa bisa diberi tugas praktikum mandiri atau kelompok sebagai pengganti kegiatan belajar mengajar harian. ‘’Bisa diberi tugas mandiri atau kelompok. Jadi, tetap tidak masuk setiap hari. Bisa tugas dari guru mata pelajaran maupun guru ekstrakurikuler untuk menambah kreativitas anak,” ucap Gus Hilmy.(arz)