Penulis: Dr. Lalu Unsunnidhal, S.Pt., M.Biotech │
NAMA Prof. H. Muhammad Ali, S.Pt., M.Si, PhD kini menjadi perbincangan hangat di Universitas Mataram (Unram) dan bahkan di luar kampus.
Banyak yang menyoroti rekam jejak akademiknya, konsistensinya di dunia penelitian, hingga kiprahnya dalam kontestasi Pemilihan Rektor Unram mendatang.
Namun bagi saya, sebelum beliau menjadi figur publik yang ramai dibicarakan, Prof Ali terlebih dahulu hadir sebagai sosok yang mengubah arah hidup seorang mahasiswa—yakni saya sendiri.
Saya kembali ke tahun 2008, hari pertama sebagai mahasiswa baru di Fakultas Peternakan Universitas Mataram (Faterna Unram), kampus yang akrab dijuluki Kampus Gembala.
Di tengah kecanggungan memasuki dunia baru, ada satu nama yang segera menyita perhatian saya bahkan sebelum saya benar-benar tahu apa itu bioteknologi peternakan. Nama itu adalah Prof Ali.
Dari cerita kakak tingkat, cara para dosen menyebutnya, hingga wibawanya saat memasuki kelas, semuanya memberi kesan mendalam.
Prof Ali bukan tipe dosen yang membangun otoritas melalui suara lantang. Ia membangun wibawa lewat ketekunan luar biasa, ketenangan khas ilmuwan, dan dedikasi yang tidak pernah putus pada laboratorium.
Saya saat itu belum memahami sepenuhnya apa yang beliau tekuni. Namun saya mengerti satu hal; ada sesuatu yang istimewa pada diri beliau. Sesuatu yang membuat banyak mahasiswa memandangnya sebagai rujukan keilmuan, bahkan sebagai inspirasi.
Dari pertemuan-pertemuan di kelas, dari diskusi ringan maupun serius, dan dari keteladanan sehari-harinya, minat saya terhadap bioteknologi yang mulanya samar berkembang menjadi cita-cita yang jelas. Benih kecil itu tumbuh pelan-pelan, dipupuk oleh keberadaan seorang dosen yang mencintai ilmunya dengan sepenuh hati.
Ketika lulus tahun 2012, saya berdiri di persimpangan yang biasa ditemui para sarjana muda. Namun berbeda dengan banyak teman seangkatan, saya merasa arah yang harus saya tempuh sudah lebih dulu diterangi. Saya ingin melanjutkan perjalanan yang Prof Ali mulai. Saya ingin memahami bioteknologi lebih dalam. Keputusan pun saya ambil, melanjutkan studi ke Program Bioteknologi di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Di sana, saya mulai melihat gambaran lebih utuh tentang dunia yang dulu hanya saya dengar dari perkuliahan di Faterna Unram. Jaringan riset, perbincangan ilmiah, serta tantangan akademik yang lebih kompleks, membuka mata saya bahwa bidang yang ditekuni Prof Ali bukan sekadar bidang kekinian—melainkan bidang masa depan.
Dan saya semakin sadar, ketertarikan saya pada bioteknologi, bahkan keputusan hidup saya tidak dapat dilepaskan dari figur beliau.
Ketika Jepang Bukan Lagi Mimpi
Setelah menyelesaikan studi magister, saya mendapat kesempatan yang sungguh luar biasa, melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Nagoya, Jepang, tepat di laboratorium tempat Prof Ali menempuh pendidikan doktoral beberapa tahun sebelumnya.
Kesempatan itu hadir bukan hanya karena usaha saya pribadi, melainkan karena kepercayaan dan rekomendasi langsung dari Prof Ali. Tanpa itu, saya mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di salah satu pusat riset terbaik dunia.
Di Nagoya, saya melihat sisi lain beliau—dalam konteks internasional. Saya menyaksikan bagaimana beliau dihargai para profesor Jepang. Bagaimana beliau berdiri sejajar dalam forum ilmiah dunia. Bagaimana ketekunan, kerendahan hati, dan integritas tetap menjadi napas utama perjalanan akademiknya.
Belajar di laboratorium yang sama dengan beliau membuat saya merasakan sambungan emosional dan intelektual yang tak bisa saya jelaskan sepenuhnya. Saya seperti menyusuri jejak yang telah lebih dulu dibentangkan oleh seorang guru yang tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga membuka jalan hidup. Dari Prof Ali saya belajar bahwa konsistensi adalah kekuatan. Ilmu membutuhkan kerendahan hati.
Kesempatan tidak datang tanpa kerja keras. Menjadi dosen berarti membuka jalan, bukan sekadar mengajar. Dan bahwa mahasiswa bisa melangkah jauh bila ada tangan guru yang membimbingnya dengan tulus. Hari ini, ketika banyak orang berbicara tentang beliau dalam konteks pemilihan rektor, saya membawa perspektif yang berbeda.
Saya mengenalnya bukan dari spanduk kampus atau diskusi publik, tetapi dari ruang kuliah sederhana di Faterna Unram, dari laboratorium kecil tempat benih mimpi saya ditanam, hingga dari perjalanan ribuan kilometer ke Negeri Sakura—perjalanan yang mungkin tidak pernah terjadi tanpa satu nama, Prof Ali.
Perjalanan dari lorong-lorong Kampus Gembala hingga laboratorium di Nagoya adalah kisah panjang yang tidak akan mungkin saya tulis tanpa menyebut satu kalimat yang paling jujur. Terima kasih atas ilmu, keteladanan, inspirasi, serta pintu-pintu yang Prof buka untuk saya. Terima kasih telah melihat potensi saya bahkan di saat saya sendiri belum melihatnya.
Tanpa pertemuan pertama di Faterna Unram tahun 2008, mungkin arah perjalanan akademik saya tidak akan pernah terbentuk seperti sekarang. Sekali lagi, terima kasih Dosen Panutan, Prof Ali.(*)
















