Oleh: Lalu Niqman Zahir │
BERDASARKAN Sensus Pertanian 2023, jumlah petani di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah 225.483 orang dan masuk dalam kategori petani milenial. Jumlah ini setara dengan 30,37% dari total petani. Petani milenial adalah petani yang berusia 19–39 tahun, baik yang menggunakan teknologi digital maupun tidak (BPS. 2024). Sedangkan jumlah nelayan di provinsi NTB sebanyak 65.692 (DKP NTB, 2023).
Sementara itu kepemilikan lahan pertanian di NTB, seperti kepemilikan lahan pada umumnya di Indonesia, didominasi oleh petani gurem. Petani gurem adalah petani dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektare. Dengan kepemilikan lahan seperti itu, yang tidak memenuhi skala usaha untuk komoditas pertanian, menjadikan mereka hanya sebagai petani subsisten. Petani subsisten adalah petani yang mengusahakan lahan pertaniannya hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Atau kalaupun ada kelebihan produksi kemudian dijual. Namun jarang memikirkan kapan sebaiknya hasil pertanian dijual? Kemana menjualnya? Apakah dalam bentuk bahan mentah atau setengah jadi atau barang jadi? Sehingga mereka jarang berpikir melampaui pemikiran petani atau pemikiran sebagai pengusaha.
Pertanyaannya adalah bisakah petani yang belahan sempit dan tidak memenuhi skala usaha menjadi pengusaha?
Tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana petani kecil/petani gurem dapat bertransformasi menjadi pengusaha. Pada tulisan ini juga diuraikan bagaimana pengalaman petani kecil di Italia bertransformasi menjadi pengusaha.
Kiat Mengubah Petani Menjadi Pengusaha
Beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk mendorong petani dapat bertransformasi menjadi pengusaha yaitu:
Pertama, mengembangkan rencana bisnis. Kegiatannya antara lain adalah: (1) Mengidentifikasi bagian dari rantai nilai pertanian yang ingin diteliti usahanya seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, atau peternakan; dan (2) Membuat strategi dan model bisnis yang dapat menguraikan rencana bisnis dengan jelas.
Kedua, melakukan riset pasar. Kegiatannya meliputi: (1) Meneliti target pasar, kondisi pertanian lokal, dan permintaan konsumen; (2) Mengidentifikasi calon pelanggan, distributor, atau pasar untuk produk yang dihasilkan; dan (3) Mengevaluasi persaingan, tren harga, dan peluang pasar.
Ketiga, petani membentuk usaha kecil dan menengah. Hal ini biasanya dilakukan oleh petani yang sudah memiliki lahan yang cukup luas. Sehingga sudah memenuhi skala usaha untuk mengusahakan komoditas tertentu.
Keempat, membentuk kemitraan. Beberapa jenis kemitraan yang dapat dijadikan pembelajaran yang baik adalah:
- Pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Pola kemitraan ini telah dilaksanakan sejak tahun 1980-an dalam bentuk PIR perkebunan. PIR khusus dan PIR lokal. PIR ini terdiri perusahaan sebagai inti, biasanya menguasai 20 persen lahan, dan juga pengolahannya, dan rakyat atau petani kecil sebagai plasma, yang menguasai lahan sekitar 80 %. Hubungan kemitraan antara inti dan plasma ini harus saling menguntungkan. Untuk kasus PIRBUN yaitu PIR-Trans dengan komoditas kelapa sawit. Secara teoritis inti berfungsi sebagai penyangga (buffer) kalau terjadi fluktuasi harga, sehingga petani tidak dirugikan. Namun kenyataannya di lapangan tidak seindah teori;
- Klaster adalah bergabungnya para petani kecil yang terletak pada suatu unit geografis untuk mengusahakan komoditas dari hulu sampai hilir dan dikaitkan dengan komoditas lainnya seperti industri kreatif dan wisata. Klaster ini dikelola oleh suatu manajemen yang berasal dari para petani itu sendiri. Pengelola kemudian membentuk badan usaha seperti koperasi, perusahaan atau yang lainnya. Contoh klaster yang baik adalah Klaster Kopi di Kabupaten Temanggung. Klaster ini menaungi petani kecil di 7 (tujuh) kecamatan di Kabupaten Temanggung. Produksinya adalah mulai dari green bean sampai kopi bubuk. Baik kopi robusta maupun kopi arabika;
- Petani bergabung dalam wadah usaha koperasi. Koperasi merupakan badan usaha yang diharapkan sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Kedudukan antara satu petani dengan petani lainnya di dalam koperasi adalah sama. Salah satu contoh sukses koperasi adalah Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) yang didirikan pada tahun 1969. Jenis usaha Koperasi ini adalah pengolahan dan pemasaran susu; dan
- Para petani kecil dapat bergabung dalam sebuah perusahaan, apakah itu CV atau Perseroan Terbatas (PT).
Kolaborasi antara petani kecil dalam berbagai bentuk di atas, akan dapat meningkatkan posisi tawar petani, meningkatkan efisiensi, mempercepat transfer teknologi dan inovasi, mempercepat alih pengetahuan dan keterampilan, serta tidak perlu lagi memikirkan pemasaran, dan lain-lainnya.
Belajar dari Italia
Dalam buku From Peasant to Entrepreneur: The Survival of the Family Economy in Italy, karya Anna C. Bull dan Paul Cirner (1993) diuraikan tentang bagaimana petani gurem Italia dapat bertransformasi menjadi pengusaha.
Seperti diketahui negara Italia memiliki sumber daya dan modal yang terbatas dan sistem pasar yang terintegrasi serta dibebani oleh persoalan politik dan sosial yang besar.
Kondisi sosisl ekonomi di Italia bagian utara yang mengikuti pembangunan pola Barat dengan pertanian keluarga yang runtuh dan petani berbondong-bondong ke kota-kota tempat mereka membentuk kaum proletar dari masyarakat industri yang sedang berkembang. Sedangkan Italia bagian selatan dicirikan dengan bentang alamnya yang gersang, dunia bawah tanahnya yang kriminal dan jutaan penduduknya yang dipaksa untuk bermigrasi ketempat lain dengan harapan akan memperoleh pekerjaan dan standar hidup yang layak. Dalam model ekonomi klasik, Italia secara tradisional terdegradasi ke posisi keterbelakangan relatif – negara yang nyaris tidak berkembang.
Namun, akhirnya Italia berhasil memobilisasi sumber dayanya dan memperoleh tempat di antara negara-negara industri modern.
Menurut Bull dan Cirner proses perubahan negara Italia menjadi negara maju adalah adanya kekuatan jangka panjang masyarakat Italia, ekonomi keluarga yang berbasis di pedesaan, merangsang pembangunan ekonomi dari bawah dan berfungsi untuk menentukan tempat khusus negara itu dalam sejarah kapitalisme modern.
Secara umum kepemilikan lahan petani di Italia adalah sangatlah kecil bila mengacu kepada standar Eropa Barat.
Namun seperti petani di Eropa Barat lainnya lahan pertanian hanya dikelola oleh keluarga. Dari usaha pertanian kemudian betransformasi menjadi industri pengolahan, baik industri pengolahan berbasis pertanian (keju, minuman anggur, sepatu dan lain sebagainya) dan industri pengolahan non pertanian. Pola transformasi inilah yang menjadikan petani menjadi pengusaha.
Pembelajaran terbaik (best practices) telah diuraikan di atas. Tinggal memilih mana yang cocok diterapkan di Indonesia khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sehingga akan mempercepat transformasi perekonomian, dapat berkontribusi dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia 8 persen, mempercepat kemajuan wilayah NTB. dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTB.(*)
Penulis adalah Pengamat Sosial dan Ekonomi, saat ini menjabat sebagai Plh Sekretaris Jenderal DPD RI