Oleh: Lalu Niqman Zahir │
TEORI pusat-pusat pertumbuhan berkembang pesat setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Teori ini berkembang sejalan dengan pembangunan kembali Eropa dalam kerangka program Marshal Plan. Teori pusat pertumbuhan adalah teori yang menjelaskan bahwa pembangunan tidak terjadi di semua wilayah, melainkan hanya di wilayah tertentu. Wilayah-wilayah tertentu ini disebut sebagai pusat pertumbuhan.
Secara teoritis bahwa akibat pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ini berkembang dan akan memberikan efek penetesan ke daerah di bawahnya (trickle-down effect) maupun efek penyebaran (spread effect) kepada daerah pinggirannya (hinterland). Jadi, dengan berkembangnya pusat pertumbuhan akan menghela/menarik pertumbuhan daerah pinggirannya. Atau lebih jelasnya apabila pusat-pusat pertumbuhan maju, maka daerah pinggirannya juga akan maju.
Pada kenyataannya kedua efek itu tidak terjadi bahkan terjadi dampak yang sebaliknya, yaitu dampak negatif. Dampak negatif tersebut antara lain adalah:
- Efek pengurasan (Backwash effect) sumber daya alam dari daerah pinggiran ke pusat pertumbuhan. Akibat dari efek pengurusan terjadi kerusakan lingkungan di daerah pinggiran;
- Pengurusan sumber daya manusia (brain drain) yang memiliki kompetensi tinggi berpindah dari daerah pinggiran ke pusat pertumbuhan; dan
- Bias perkotaan (urban biased), yaitu pemerintah lebih suka membangun pusat pertumbuhan (perkotaan) daripada pinggirannya (perdesaan). Karena cukup dengan membangun pusat pertumbuhan akan menarik daerah pinggiran.
Sebagai akibat dari banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan teori ini, maka sejak awal dekade 1970-an Eropa mulai meninggalkan teori ini. Kemudian berkembanglah teori Neo-Endogenous Development. Bahwa pembangunan suatu daerah bertumpu pada potensi daerah tersebut, tetapi tanpa menafikan faktor eksternal seperti aliran modal (investasi), teknologi, dan sumber daya manusia yang berkompetensi tinggi. Juga hubungan antara pusat dan pinggiran tidak bersifat hierarkhial tapi jejaring (network).
Teori pusat pertumbuhan walau sudah ditinggalkan di Eropa, namun masih diterapkan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Penerapan reori-teori pusat pertumbuhan ini bukan untuk daerah perkotaan, tapi untuk daerah-daerah yang belum berkembang. Dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan baru ini, diharapkan akan mempercepat pertumbuhan daerah yang belum berkembang.
NTB merupakan daerah yang jauh dari pusat pertumbuhan baik Surabaya, apalagi Jakarta. Sehingga kemajuan daerah NTB tidak sepesat di Pulau Jawa. Sebenarnya di NTB sudah dibangun pusat-pusat pertumbuhan berupa Kawasan Industri (KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Kawasan Transmigrasi (KTrans), namun pengembangannya belum optimal.
Pada tulisan ini akan dibahas bagaimana mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan yang sudah ada, agar dapat mempercepat kemajuan NTB, dan berkontribusi pada pencapaian pertumbuhan ekokomi sebesar 8 persen, seperti yang telah dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
NTB memiliki KEK Mandalika yang berlokasi di Kuta, Pujut, Lombok Tengah. Namun KEK tersebut belum berjalan secara optimal. Padahal, Presiden Prabowo Subianto dalam acara Indonesia Special Economic Zone Business Forum: Diversifying SEZ Business Opportunity, Senin (9/12/2024), menyatakan agar KEK dapat berperan dan berkontribusi dalam laju pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Sebagaimana pengalaman negara tetangga, KEK telah menjadi salah satu sektor yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di beberapa negara Asia, antara lain Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan juga yang terbaru adanya kerja sama Singapura dan Malaysia untuk pengembangan di Johor.
KEK di Indonesia sebagai pusat pertumbuhan baru, irancang untuk menarik investasi besar dan menciptakan ekosistem ekonomi yang dinamis.
KEK Mandalika apabila sudah berjalan dengan optimal, dalam mempromosikan event-nya. Juga secara terpadu dengan kawasan/klaster wisata yang ada di sekitarnya. Misalnya klaster wisata budaya Sade, Klaster Sukarare, Klaster Sekarbela. Klaster Pantai Pink dan lain sebagainya. Sehingga pengunjung bukan hanya mengunjungi KEK Mandalika, tetapi juga mengunjungi klaster-klaster wisata yang tadi sudah disebutkan. Oleh karena itu, Pemda juga harus membangun kawasan-kawasan wisata tersebut, yang saat ini hanya berupa satu desa/kelurahan.
Kawasan Industri (KI)
Di NTB sudah berkembang beberapa KI antara lain: (1) KI logam (smelter) di Sumbawa Barat, (2) Kawasan Industri Kota Mataram; (3) Aglomerasi Pabrik Penghasil Tembakau (APHT) di Kabupaten Lombok Timur; dan (4) Sentra Industri Kreatif Sasambo. KI yang sudah ada ini agar dikembangkan secara optimal. Pemda tentu harus ikut mempromosikan KI, agar ada peningkatan di KI tersebut.
Pemda juga ikut mendorong perusahaan-perusahaan yang ada di KI tersebut untuk mengkonsumsi hasil pertanian (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan) dari hasil bumi NTB. Sehingga para petani, peternak dan nelayan/pembudidaya ikan dapat menikmati eksternalitas positif dari adanya KI tersebut.
Kawasan Transmigrasi (KTrans)
KTrans juga merupakan instrumen pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru. Di NTB terdapat empat lokasi KTrsns, yaitu KTrans Labangka, KTrans Selaparang, KTrans Tongo-Sekongkang, dan KTrans Tambora. Selama ini KTrans perkembangannya dibiarkan tumbuh secara alamiah. Padahal apabila dikembangkan dengan baik akan dapat berkontribusi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
KTrans Labangka terletak di Kabupaten Sumbawa dengan luas 38.398 Ha dan jumlah penduduk 40.018 jiwa. KTrans ini merupakan produsen jagung, dengan luas lahan 23.933 hektar dan produksi 119.669 ton/tahun. Selain jagung, juga memproduksi beras, walau tidak seluas jagung. Luas lahan padi sebesar 2.284 hektare dengan produksi 6.880 ton GKG/tahun.
KTrans Tambora terletak di Kabupaten Bima dengan luas kawasan mencapai 23.062 Ha dan jumlah penduduk 17.267 jiwa. KTrans ini merupakan produsen padi. Luas lahan padi di kawasan ini mencapai 18.663 hektar dengan produksi 74.655 ton GKG/tahun. Juga produsen jagung walau tidak seluas padi. Luas lahan jagung 2.065 hektar dengan produksi 25.515 ton/tahun.
KTrans lainnya adalah Tongo-Sekongkang dengan luas 23.261 hektare. Kawasan ini merupakan daerah produsen padi dan pertanian lainnya, seperti cabe, kacang, kelapa, kopi, dan peternakan. KTrans Selaparang terletak di Kabupaten Lombok Timur dengan luas kawasan 20.275 hektare. KTrans ini merupakan produsen padi dan jagung dan buah-buahan.
Pengembangan KTrans di NTB, khususnya yang ada di Pulau Sumbawa harus dioptimalkan. Pengoptimalan pengembangan KTrans dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil pertanian. Sehingga selain akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8%, juga untuk meningkatkan ketahanan pangan. Selain itu dari KTrans ini dapat mensuplai kebutuhan pangan KI, dan KEK yang ada di dekatnya.
Pemda provinsi maupun kabupaten/kota agar segera mengoptimalkan pusat-pusat pertumbuhan yang ada. Baik itu KEK, KI maupun KTrans. Sehingga akan mempercepat kemajuan daerah NTB, berkontribusi dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi 8%, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.(*)
Penulis adalah Pengamat Sosial Ekonomi dan saat ini sebagai Plh Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)