REPOSISI GEOEKONOMI INDONESIA

- Jurnalis

Senin, 24 Maret 2025 - 02:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Lalu Niqman Zahir.

Lalu Niqman Zahir.

Oleh: Lalu Niqman Zahir |

PADA dekade 1980-an dan 1990-an Indonesia bersama Malaysia, Thailand, dan Filipina dijuluki sebagai Anak Macan Asia (Cubs of the Asian Tiger) atau Macan Asia Baru (New Asian Tiger). Istilah tersebut merujuk kepada perkembangan ekonomi yang pesat dari keempat negara tersebut, mengikuti jejak Empat Macan Asia (Four Asian Tigers). Keempat macan Asia tersebut adalah Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura.

Berbeda dengan empat macan Asia, struktur perekonomian keempat negara Asia Tenggara tersebut tidak kuat, terutama pada sektor industrinya. Indonesia khususnya hanya didukung oleh infant industry yang merupakan industri substitusi impor sehingga rentan terhadap goncangan ekonomi, baik internal maupun eksternal. Selain itu ekspor Indonesia hanya didominasi oleh sektor primer, yaitu pertambangan dan pertanian.

Beberapa kali goncangan ekonomi eksternal pada kurun waktu 1980-an sampai dengan 1990-an, Indonesia masih bisa bertahan. Namun krisis ekonomi dunia pada tahun 1998, yang disertai krisis sosial politik lainnya dari internal Indonesia, telah menyebabkan perekonomian Indonesia ambruk. Memang bukan hanya Indonesia, keempat Macan Asia Baru pun ikut terjerembab, walau tidak separah Indonesia. Di Indonesia, kehancuran ekonomi disertai dengan terjadinya kemelut politik, dengan kejatuhan rezim Orde Baru. Selain itu terjadi konflik sosial baik secara vertikal maupun horizontal di berbagai daerah di Indonesia.

Geoekonomi Pasca Krisis 1998

Presiden Habibie walau berkuasa dalam waktu singkat tapi mampu mengembalikan stabilitas ekonomi Indonesia. Akan tetapi kemelut politik dan adanya separatisme daerah dan konflik sosial di berbagai daerah, menyebabkan pemulihan ekonomi Indonesia tidak berjalan secara optimal.

Pengganti Habibie yakni Gus Dur dan Megawati, juga lebih memfokuskan pada aspek sosial politik. Sehingga aspek ekonomi kurang diperhatikan. Di era SBY, pengganti Gusdur dan Megawati, kondisi sosial politik relatif stabil. SBY fokus kepada pengembangan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi di era SBY sangat tinggi. Namun luka lama akibat krisis 98 belum mampu dipulihkan. Sejak krisis 1998 penurunan kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus berlanjut di era SBY. Seharusnya penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB terjadi pada negara maju, bukan terjadi di Indonesia yang masih sebagai negara berkembang. Fenomena ini disebut de-industrialisasi dini atau de-industrialisi prematur. Sehingga struktur perekonomian Indonesia juga tidak terlalu kuat.

Jokowi sebagai pengganti SBY, tidak seperti SBY. Jokowi lebih fokus kepada pembangunan infrastruktur. Namun Infrastruktur yang dibangun tidak terkait dengan upaya mendukung pembangunan ekonomi, bahkan cenderung mubazir. Sebut saja misalnya Bandara Kertajati, dan Bandara Jenderal Besar Soedirman yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Demikian juga dengan proyek IKN, yang berpotensi mangkrak. Proyek-proyek Jokowi ini akhirnya hanya membebani APBN. Apalagi proyek-proyeknya didanai dengan hutang, akan membebani bukan hanya pada saat pemerintahannya, tapi juga akan membebani pemerintahan penggantinya.

Baca Juga :  PLN Siagakan 18 Unit SPKLU Untuk Dukung Penggunaan Kendaraan Listrik pada HUT RI ke-79 di IKN

Pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Jokowi hanya berkisar di angka psikologis 5 persen. Jauh di bawah laju pertumbuhan ekonomi di era SBY. Sehingga orang menyebutnya laju pertumbuhan ekonomi “auto pilot”. Artinya tanpa ada campur tangan pemerintah pun, perekonomian akan tumbuh seperti itu. Kasus korupsi di era Jokowi juga semakin meningkat, sehingga Transparency Internasional hanya memberikan skor 34 dari skor tertinggi 100 untuk penanganan korupsi di tahun-tahun terakhir pemerintahannya.

Posisi geoekonomi Indonesia pada masa pemerintahan SBY, bahkan pada masa pemerintahan Jokowi, masih dipandang sebelah mata oleh negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, bahkan di mata dunia. Khususnya Singapura terkesan melecehkan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jejak digital pidato PM Lee, yang mengatakan bahwa Indonesia seolah-olah mengemis investasi dari Singapura.

Bahwa Singapura tumbuh menjadi negara maju karena dukungan kuat Indonesia sejak zaman Soeharto. Soeharto dengan Trilogi Pembangunannya, telah menghantarkan Indonesia menjadi negara yang aman dan stabil. Hal inilah yang menyebabkan negara-negara ASEAN termasuk Singapura, tumbuh tanpa gangguan. Selain itu Singapura juga didukung oleh energi listrik dan gas bumi yang murah dari Indonesia, sehingga biaya ekonominya menjadi rendah. Singapura juga menampung uang berlimpah dari para koruptor maupun pengekspor, yang memarkir dana hasil ekspor (DHE) di sana. Singapura juga menjadi tempat penampungan dana penyelundupan hasil eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Namun ternyata Singapura justru membalas semua kebaikan-kebaikan Indonesia dengan air tuba.

Reposisi Geoekonomi

Prabowo sebagai pengganti Jokowi memiliki kebijakan yang berbeda 180 derajat. Walaupun seringkali Prabowo memuji-muji Jokowi, namun sejatinya kebijakannya sangat bertentangan. Prabowo fokus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Walaupun sebagian besar orang menganggap pertumbuhan sebesar itu mustahil dapat terwujud dengan kondisi Indonesia seperti saat ini.
Hal ini dikarenakan antara lain:
1. Hutang ribuan triliyun warisan pemerintahan Jokowi telah membebani APBN baik untuk membayar bunga maupun hutang pokok;

2. Tax ratio terus merosot dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2023 sebesar 10,23 %, dan menurun menjadi 10,02 % di bulan Oktober 2024.
Di antara Negara Negara ASEAN Tax Rasio Indonesia berada pada peringkat terendah kedua setelah Myanmar. Kondisi penurunan tax rasio akan berpengaruh terhadap defisit anggaran. Padahal menurut Undang-undang bahwa apabila defisit melebihi 3 persen dari total PDB akan berimplikasi kepada impeachment;
3. Kondisi korupsi yang diwariskan di era Jokowi menyebabkan kebocoran APBN dan APBD. Selain itu korupsi juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sebesar 6,33. Inilah yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen.

Baca Juga :  Terkait Polemik Sembako Rp40 M, Sekda Lotim Angkat Bicara

Presiden Prabowo memang tidak tinggal diam dengan kondisi tersebut. Dia ingin melihat Indonesia memiliki muruah di mata internasional. Beberapa kebijakannya terkesan radikal, antara lain:
1. Efisiensi APBN dan APBD untuk difokuskan kepada pelayanan publik;
2. Hilirisasi dan industrialisasi mineral strategis, minyak mentah, gas, alutsista dan barang-barang pertanian. Sehingga ada penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan nilai tambah. Hal ini akan meningkatkan pengganda pendapatan dan tenaga kerja. Selain itu akan dapat meningkatkan posisi geoekonomi;
3. Penghentian ekspor mineral mentah strategis dan energi, khususnya ke Singapura.
4. Retensi DHE sebesar 100 persen. Hal ini tentu akan meningkatkan cadangan devisa dan memperkuat stabilitas nilai kurs rupiah;
5. Pemberantasan korupsi merupakan langkah yang sangat penting, karena akan mengurangi kebocoran APBN dan APBD, dan menurunkan biaya ekonomi. Bahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, Prabowo menargetkan ICOR sebesar 4; dan
6. Indonesia bergabung dengan BRICS. Negara-negara anggota BRICS merupakan pasar yang sangat besar, khususnya India, China. Rusia dan Brazil. Selain itu BRICS juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan, baik sebagai negara seperti UEA dan Arab Saudi, maupun New Development Bank. Terakhir BRICS merupakan negara negara yang memiliki sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia.

Kebijakan-kebijakan ini diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih cepat serta mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Namun tekad ini tentu tidak akan mulus. Karena negara-negara maju dan negara tetangga yang menggerogoti kekayaan Indonesia, tidak ingin melihat Indonesia maju, apalagi menjadi raksasa ekonomi dunia. Selain itu perlu juga mewaspadai para penghianat bangsa dan negara Indonesia, yang berkolaborasi dengan negara asing, agar Indonesia tetap miskin, bodoh dan terbelakang. Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak manusia-manusia seperti itu ada di masa penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang.

Peran Daerah

Daerah memiliki peran yang sama dengan pemerintah pusat dalam mereposisi geoekonomi Indonesia. Daerah harus seiring sejalan dengan program Presiden Prabowo. Karena perekonomian daerah yang kuat dan beragam akan memperkuat struktur perekonomian nasional.

Warga masyarakat di daerah harus mengawal terus pemerintah daerah dalam membangun daerahnya. Selain itu mengawasi jalannya pembangunan agar tidak ada lagi koruptor-koruptor, dan para penghianat bangsa sebagai komperador negara asing untuk merongrong eksistensi bangsa dan negara Indonesia.(*)

Penulis adalah Pengamat Sosial dan Ekonomi yang saat ini menjabat sebagai Deputi Administrasi Sekretariat Jenderal DPD RI

Berita Terkait

UTANG DAN KETERCAPAIAN PERTUMBUHAN 8 PERSEN
KOPERASI DESA, CASING LAMA DENGAN MEREK BARU
Mengawal 100 Hari Pertama Kepala Daerah
TRANSFORMASI DIGITAL UNTUK DAERAH
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM, SUATU KENISCAYAAN
MEREALISASIKAN NTB SEBAGAI PUSAT PETERNAKAN NASIONAL
PELUANG EKONOMI IMPLEMENTASI BAGAN ALUR LAUT DI SELAT LOMBOK
DARI PETANI KE PENGUSAHA?

Berita Terkait

Senin, 24 Maret 2025 - 02:28 WIB

REPOSISI GEOEKONOMI INDONESIA

Senin, 17 Maret 2025 - 04:12 WIB

UTANG DAN KETERCAPAIAN PERTUMBUHAN 8 PERSEN

Senin, 10 Maret 2025 - 02:25 WIB

KOPERASI DESA, CASING LAMA DENGAN MEREK BARU

Senin, 3 Maret 2025 - 01:46 WIB

Mengawal 100 Hari Pertama Kepala Daerah

Senin, 24 Februari 2025 - 06:01 WIB

TRANSFORMASI DIGITAL UNTUK DAERAH

Berita Terbaru