Oleh: Lalu Niqman Zahir │
NILAI utang pemerintah pusat per Januari 2025 adalah mencapai Rp8.909,14 triliun atau mengalami kenaikan sekitar 1,22% dari catatan per Desember 2024 sebesar Rp8.801,09 triliun.
Data ini terungkap dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan 2024.
‘’Jumlah utang yang relatif besar tersebut memerlukan pengelolaan secara cermat dan berhati-hati, karena utang mempunyai dimensi risiko yang berpotensi menimbulkan masalah terhadap kesinambungan fiskal, antara lain risiko nilai tukar, risiko tingkat bunga, dan risiko refinancing,’’ dikutip dari halaman 24 dokumen tersebut, Senin (11/3/2025).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa utang negara memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan peran penting dalam pembiayaan pembangunan namun juga berpotensi menambah beban ekonomi jika tidak dikelola dengan baik. Jumlah utang negara yang relatif besar saat ini tentu sudah sampai pada tahap membebani belanja APBN.
Utang BUMN
Memprediksi besaran utang BUMN 2024 sedikit rumit karena belum ada angka resmi yang dirilis pemerintah. Namun kita bisa melihat tren dari beberapa tahun sebelumnya. Pada akhir tahun 2022 dan memasuki Maret 2023 jumlah utang 8 BUMN mencapai Rp1.775,8 triliun. Masing-masing BUMN mencatatkan utang yakni:
- Pertamina Rp755,69 triliun;
- PLN Rp645,69 triliun;
- Garuda Rp.116,93 triliun (per 31 Maret 2023)
- Waskita Karya Rp84,38 triliun;
- Wijaya Karya Rp55,57 triliun;
- PP (Persero) Tbk Rp43,8 triliun;
- PT KAI Rp42,25 triliun;
- Adhi Karya Rp39,29 triliun (per 31 Maret 2023)
Angka ini tentu cukup signifikan. Meskipun rasio utang terhadap ekuaitas BUMN mengalami penurunan namun peningkatan utang dalam nominal tetap menjadi perhatian. Jika dihitung total utang negara dan utang BUMN adalah mencapai Rp10.576,89 triliun. Dengan demikian rasio utang Indonesia mencapai 47,7 persen dari PDB. Beban utang yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya akan menjadi beban yang berat bagi pemerintahan Prabowo.
Meskipun UU No.17/2003 Memberikan batasan maksimal rasio utang terhadap PDB ditetapkan sebesar 60 persen, namun menurut Yusuf Wibisono, penggunaan indikator rasio utang sebagai pembenaran dianggap sedikit menyesatkan. Rasio PDB dianggap kurang tepat dijadikan indikator karena hanyalah potensi pendapatan. Seharusnya adalah rasio antara utang dengan penerimaan perpajakan sebagai cerminan pendapatan pemerintah yang sesungguhnya.
Dengan membandingkan biaya dari utang terhadap penerimaan perpajakan, meski stok utang terhadap PDB masih terjaga, maka akan terlihat bahwa utang pada keuangan negara telah berada pada tingkat yang sangat memberatkan dan mengancam keberlanjutan fiskal. Kinerja perpajakan selama sepuluh tahun terakhir mengalami fluktuatif. Rasio perpajakan menunjukkan tren penurunan dari 10,85 persen (2014) menjadi 8,32 persen (2020). Namun angka ini naik pada tahun 2021 sampai dengan tahun 2023 karena ditopang kenaikan harga komoditas seperti minyak sawit dan batubara. Namun dalam dua tahun terakhir rasio perpajakan mengalami penurunan dari 10,23 persen tahun 2023 menjadi 10,02 persen di bulan Oktober 2024. Di antara negara-negara ASEAN rasio perpajakan Indonesia berada pada peringkat kedua terendah setelah Myanmar. Tentu saja penurunan rasio perpajakan akan berpengaruh terhadap defisit anggaran. Padahal menurut Undang-Undang apabila defisit melebihi 3 persen dari total PDB akan berimplikasi kepada impeachment.
Strategi Pengelolaan Utang
Lalu, langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar utang negara tetap dapat berperan penting dalam pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan sebaliknya.
Jika utang negara sudah dalam posisi menyulitkan maka reposisi terhadap utang yang menyulitkan harus dilakukan dengan strategi yang cermat agar tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Beberapa strategi pengelolaan utang yang bisa dilakukan antara lain:
- Restrukturisasi dan Refinancing Utang
Negosiasi Ulang: Pemerintah dapat menegosiasikan ulang beberapa utang yang jatuh tempo dengan suku bunga tinggi agar diperpanjang atau diganti dengan skema yang lebih ringan.
Refinancing dengan Suku Bunga Rendah: Mengganti utang berbunga tinggi dengan pinjaman baru yang memiliki bunga lebih rendah, terutama dari lembaga seperti BRICS New Development Bank, AIIB, atau Islamic Development Bank.
Pembayaran Bertahap dan Prioritas: Fokus membayar utang yang memiliki dampak besar terhadap stabilitas ekonomi terlebih dahulu.
- Pengurangan Ketergantungan pada Utang Baru
Defisit Anggaran Terkontrol: Memastikan defisit anggaran tetap di bawah batas 3% PDB agar tidak memperburuk beban utang.
Efisiensi APBN: Mengurangi belanja yang tidak produktif, seperti proyek-proyek infrastruktur mangkrak dan anggaran birokrasi yang boros. Langkah Presiden menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025 menjadi langkah yang strategis.
Peningkatan Pendapatan Negara:
Optimalisasi Pajak: Reformasi sistem perpajakan untuk meningkatkan tax ratio tanpa membebani masyarakat kecil dan UMKM.
Retensi Devisa (DHE) 100%: Memastikan hasil ekspor masuk ke dalam sistem keuangan nasional.
Hilirasasi & Industri Ekspor: Meningkatkan pendapatan negara dari ekspor produk jadi atau setengah jadi, bukan sekadar bahan mentah.
- Diversifikasi Sumber Pembiayaan
Meningkatkan FDI (Foreign Direct Investment): Menarik investor asing ke sektor strategis yang bisa menghasilkan pendapatan jangka panjang.
Kerjasama dengan BRICS & Timur Tengah: Memanfaatkan sumber pendanaan dari negara-negara BRICS dan investor dari Arab Saudi, UEA, serta Qatar untuk pembiayaan proyek strategis tanpa bergantung pada utang berbunga tinggi.
Peningkatan Dana Infrastruktur Non-APBN:
Public-Private Partnership (PPP) untuk proyek besar.
Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti INA untuk membiayai infrastruktur tanpa menambah utang negara.
- Penguatan Rupiah dan Stabilitas Ekonomi Makro
Meningkatkan Cadangan Devisa dengan kebijakan retensi DHE 100% dan pembatasan impor barang tidak produktif.
Menjaga Stabilitas Inflasi agar tidak terjadi depresiasi rupiah yang memperburuk beban pembayaran utang luar negeri.
Mendorong Penggunaan Mata Uang Lokal (LCS–Local Currency Settlement) dalam perdagangan internasional untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam rangka pengelolaan utang yang baik dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, maka ada beberapa langkah yang harus dilakukan antara lain: Reposisi utang harus dilakukan dengan kombinasi restrukturisasi, efisiensi APBN, peningkatan pendapatan negara, diversifikasi pembiayaan, dan stabilitas ekonomi makro. Tanpa strategi yang jelas, beban utang akan terus menekan APBN dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.(*)
Penulis adalah Pengamat Sosial dan Ekonomi yang saat ini sedang menjabat sebagai Deputi Bidang Administrasi Sekretariat Jenderal DPD RI