MATARAM, LOMBOKTODAY.ID – Dokumen Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII tahun 2025 di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang memperlihatkan angka fantastis sebesar Rp25 miliar, sempat menuai kritik lantaran tidak mencantumkan secara eksplisit alokasi anggaran untuk publikasi media.
Namun setelah ditelusuri lebih jauh, terungkap bahwa panitia pelaksana memang telah bekerja sama dengan sejumlah media, meskipun jumlahnya terbatas dan proses seleksinya pun dinilai tidak transparan.
Data media yang beredar menunjukkan beberapa media dituliskan berulang-ulang, sementara sebagian besar media lokal yang aktif melakukan peliputan justru tidak dilibatkan. Ketimpangan ini memunculkan dugaan bahwa kerja sama publikasi dalam FORNAS VIII ini dilakukan secara tertutup dan hanya melibatkan media-media tertentu yang dianggap ‘’aman’’ secara naratif.
Direktur Lombok Global Institut (LOGIS), Fihiruddin, dalam wawancara hari ini, Kamis (24/7/2025), menyampaikan kritik keras terhadap pola kerja panitia pelaksana FORNAS VIII. Ia menyebut, pengelolaan informasi dalam event sebesar ini tidak boleh dilakukan secara sepihak dan diskriminatif.
“Ini bukan hanya soal besar kecilnya anggaran untuk media. Ini soal keadilan akses dan keterlibatan yang seharusnya dibuka luas kepada semua media lokal yang punya kapasitas. Jangan sampai publikasi dijadikan alat pencitraan elite, bukan alat transparansi,” kata Fihiruddin saat diwawancara langsung di Mataram.
Fihiruddin menegaskan, bahwa FORNAS adalah agenda nasional yang dibiayai dengan dana publik, sehingga harus menjunjung tinggi prinsip partisipasi dan keterbukaan. “Kalau panitia hanya bekerja sama dengan media yang itu-itu saja, lalu media lain dikerdilkan atau bahkan disingkirkan, ini preseden buruk. Media itu mitra publik, bukan alat kekuasaan,” tegasnya.
Fihiruddin juga menyoroti sikap panitia pelaksana yang tidak pernah membuka skema kerja sama secara terbuka. Bahkan menurutnya, beberapa media hanya tahu dari sumber internal bahwa ada kerja sama, tanpa ada undangan resmi atau proses seleksi yang adil.
“Ini jelas melukai rasa keadilan insan pers di daerah. Padahal, peran mereka sangat vital dalam membangun partisipasi masyarakat. Kalau pers tidak dilibatkan secara bermartabat, maka publik juga akan kehilangan akses informasi yang berimbang,” ujarnya.
Beberapa pewarta dari media yang tak diakomodir pun mengeluhkan perlakuan panitia pelaksana. Menurut mereka, FORNAS VIII tahun 2025 di NTB yang seharusnya menjadi pesta rakyat, justru terkesan eksklusif dan hanya menguntungkan segelintir kelompok.
“Kami selama ini aktif mengawal kegiatan olahraga di NTB, tapi ketika event nasional digelar, tidak ada ruang untuk kami. Tak ada koordinasi, tak ada kerja sama, bahkan tak ada informasi dasar,” ujar salah seorang wartawan dari media lokal di Kota Mataram yang tak mau disebutkan namanya.
Fihiruddin menutup dengan pesan tegas: FORNAS adalah ajang nasional yang seharusnya mengedepankan semangat kolaboratif, bukan proyek eksklusif. Karenanya, ia mendesak agar panitia pelaksana segera membuka seluruh dokumen kerja sama secara transparan, termasuk rincian publikasi dan media partner.
“Ini bukan hanya soal uang. Ini soal cara memperlakukan publik dan media dengan adil dan setara. Jangan sampai FORNAS VIII ini justru meninggalkan luka sosial di tengah masyarakat NTB,” ucapnya.(smr)