Oleh: Ahmad Turmuzi │
TAHUN 2025 menandai delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Semangat kemerdekaan seharusnya menumbuhkan keadilan, kedaulatan hukum, dan kesejahteraan rakyat. Namun, masih saja terasa bahwa kemerdekaan ini tak sepenuhnya dinikmati oleh mereka yang selayaknya memetik manfaatnya: rakyat kecil.
Sementara itu, elit politik menikmati fasilitas, kebal hukum, dan tak jarang memperkaya diri. Tentu ini sebuah ironi yang menciptakan paradoks dalam makna kemerdekaan sejati. Di mana, nyata bahwa saat ini beban-beban pajak rakyat meningkat, sedangkan di sisi lain kenyamanan elit dan fasilitasnya terpenuhi oleh Negara.
Bung Hatta pernah berkata, “Indonesia merdeka haruslah membawa kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya, bukan segelintir orang saja”. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya. Rakyat kecil terbebani pajak, harga kebutuhan pokok meroket, dan keterpurukan keuangan terus menghantui mereka, sementara elit menikmati fasilitas tanpa tandingan.
Kemerdekaan Indonesia merupakan kemerdekaan diraih, diperjuangkan dari penjajah (Kemerdekaan Incomplete) tapi rakyat kini masih “dijajah” oleh sistem yang timpang, korup, dan hukum yang tidak tegas. Kemerdekaan sejati seharusnya mencakup keadilan ekonomi, penegakan hukum tanpa pandang bulu, dan pemerintahan yang mengabdi kepada rakyat. Namun, paradoks tetap membekas: rakyat terjepit, elit justru terlindungi.
Kemerdekaan yang sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan asing. Melainkan bebas dari penindasan sistemik, ketidakadilan struktural, dan ketamakan para penguasa. Jika kita terus membiarkan paradoks ini berlanjut, di mana rakyat menderita dan elit semakin nyaman, maka kemerdekaan kita hanya akan menjadi angka kosong dan Sang Merah Putih berkibar setengah tiang. Di mana, kemerdekaan hanya dirayakan oleh sebagain rakyat Indonesia, itupun hanya kantor pemerintah, sekolah-sekolah, sedangkan petani, nelayan dan buruh beraktifitas seperti hari biasanya.
Rakyat tetap memikul beban negara lewat pajak, utang, dan harga kebutuhan pokok yang terus naik. Sementara itu, sebagian elit politik menikmati fasilitas mewah, gaji besar, dan kebal dari jeratan hukum. Korupsi merajalela, hukum tebang pilih, dan keadilan terasa hanya milik mereka yang berkuasa.
Sejarah mencatat bahwa beban pajak rakyat yang terlalu berat sering menjadi pemicu keruntuhan atau gejolak besar dalam suatu negara. Pada abad ke 5 M Kerajaan Romawi, runtuh karena pajak yang tinggi dan rakyat tidak percaya penguasa.
Pada tahun 1789 Revolusi Prancis, pajak rakyat yang begitu tinggi sedangkan kaum elit hidup mewah. Pada saat ini, bangsa Indonesia menuju arah di mana pajak terus naik, mencekik rakyat, pengangguran dan lapangan pekerjaan yang minim, maka jangan salahkan rakyat saatnya nanti tidak percaya terhadap pemerintah, bahkan melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang tidak berkeadilan.(*)
Penulis adalah Akademisi dan Pengurus IKMAPALA dari Pelosok Kampung di wilayah Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur.