JAKARTA, LOMBOKTODAY.ID – Kasus kematian balita di Sukabumi, Jawa Barat, pasca ditemukan cacing sekitar 1 kilogram pada tubuhnya yang menyita banyak perhatian publik, juga turut menjadi perhatian Komite III DPD RI.
Wakil Ketua Komite III DPD RI, Erni Daryanti menyebut, gerakan dan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan oleh pemerintah belum cukup untuk mencegah terjadinya cacingan di Indonesia, mengingat gerakan ini tidak secara khusus berfokus pada pemberantasan penyakit cacingan.
WHO (World Health Organization) menyebut ada 20 penyakit yang termasuk Penyakit Tropis yang Terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NTDs). Di Indonesia penyakit NTDs yang harus diprioritaskan antara lain filariasis, cacingan, schistosomiasis, kusta, dan frambusia.
Data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes tahun 2023 misalnya menyebutkan bahwa sebanyak 236 kabupaten/kota di 28 provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis filariasis. Sebanyak 9.906 kasus kronis filariasis tersebar di berbagai provinsi di Indonesia.
Filariasis atau kaki gajah adalah pembengkakan tungkai akibat infeksi cacing jenis filaria. Cacing ini menyerang pembuluh getah bening dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Dari target sebanyak 93, hanya 72 kabupaten/kota yang mencapai eliminasi pada tahun 2021, dan baru baru 33 kabupaten/kota atau kurang dari 50% yang telah mendapatkan sertifikat eliminasi filariasis.
Menurut Erni, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan. Program Penanggulangan Cacingan ini diberi nama Reduksi Cacingan dan dimulai pada tahun 2019 yang terutama ditujukan untuk infeksi cacing tanah (STH/Soil-Transmitted Helminths) dan filariasis yang relatif masih tinggi kasusnya di seluruh provinsi Indonesia.
Target dari program ini berupa penurunan prevalensi cacingan sampai di bawah 10% di setiap kabupaten atau kota. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kecacingan yakni Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) pada anak usia pra-sekolah dan sekolah, Perbaikan kualitas air dan lingkungan bersih dan melakukan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat.
‘’Dengan temuan kasus di Sukabumi itu, kita mempertanyakan bagaimana keberlanjutan program penanggulangan cacingan itu, utamanya terkait deworming yakni pemberian obat secara massal kepada anak usia pra-sekolah dan sekolah. Dalam kacamata Komite III DPD RI, penanggulangan cacingan harus juga menjadi program prioritas pemerintah selain pencegahan stunting. Penanggulangan cacingan dan pencegahan stunting penting untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, karena keduanya saling terkait dan menghambat pertumbuhan anak yang sehat, cerdas, dan produktif. Penanggulangan cacingan mendukung penyerapan gizi, sehingga mencegah stunting,’’ tegas Erni.
Oleh karena itu, dengan merujuk pada Permenkes di mana kewajiban deworming atau POPM cacingan di Indonesia harus dilaksanakan maksimal 2 kali dalam setahun dan minimal 1 kali dalam setahun, Erni mendesak agar program POPM cacingan wajib dilakukan secara terus menerus sampai terjadi penurunan prevalensi cacingandi bawah 10%.(arz)