Oleh: Lalu Niqman Zahir │
SIAPAPUN yang terpilih dalam Pilkada pada tanggal 27 November 2024, mudah-mudahan yang terpilih adalah pemimpin yang terbaik yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerahnya.
Pemimpin yang mau melayani masyarakat atau pemimpin sebagai pelayan. Istilah kepemimpinan pelayan (servant leadership) pertama kali dicetuskan oleh Robert K. Greenleaf pada tahun 1970 dalam esainya The Servant as Leader. Greenleaf menekankan pentingnya pemimpin sebagai pelayan. Apa yang dinyatakan oleh Greenleaf sesungguhnya sudah diajarkan dan dilaksanakan 1.500 tahun yang lalu oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa salam.
Konsep Pemimpin yang Melayani
Konsep Pemimpin yang melayani merupakan konsep kepemimpinan non tradisional. Pada kepemimpinan tradisional, pemimpin itu memerintah bahkan menguasai rakyatnya.
Servant leadership atau kepemimpinan pelayan adalah filosofi kepemimpinan yang berfokus pada melayani orang lain, bukan untuk mengumpulkan kekuasaan atau mengambil alih kendali. Konsep utama dari gaya kepemimpinan ini adalah memperlakukan orang lain secara setara, sehingga interaksi di dalam organisasi menjadi lebih sinergis.
Ajaran dan teladan gaya kepemimpinan Nabi Muhammad SWA sering digambarkan sebagai kepemimpinan pelayan, yang menekankan pelayanan kepada orang lain, memprioritaskan kebutuhan mereka, dan memberdayakan mereka. Nabi Muhammad SAW memimpin dengan memberi teladan, dan membimbing rakyatnya agar berdaya.
Nabi Muhammad SAW tidak mengejar kekayaan, status, atau kekuasaan untuk keinginannya sendiri, dan atau keluarganya, namun lebih mengutamakan kepada kepentingan dan kesejahteraan umat/rakyat. Nabi Muhammad SAW memimpin dengan kerendahan hati, empati, dan perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan rakyat.
Konsep Greenleaf tidak jauh beda dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Menurut Greenleaf, ciri-ciri pemimpin yang melayani adalah:
- Berkomitmen untuk melayani: Pemimpin pelayan berfokus pada kebutuhan orang lain dan mengutamakan kepentingan mereka di atas dirinya;
- Tidak mementingkan diri sendiri: Pemimpin pelayan rendah hati dan tidak berminat untuk memegang kekuasaan atau harta benda;
- Berfokus pada komunitas: Pemimpin pelayan berfokus pada pertumbuhan dan kesejahteraan orang-orang dan komunitas tempat mereka berada;
- Berempati: Pemimpin pelayan sangat berempati;
- Memiliki kesadaran: Pemimpin pelayan memiliki kesadaran umum dan kesadaran diri yang kuat. Kesadaran ini membantu mereka memahami isu-isu yang melibatkan etika, kekuasaan, dan nilai-nilai;
- Membangun kepercayaan: Pemimpin pelayan membangun kepercayaan dan keyakinan pada tenaga kerja mereka;
- Membangun budaya yang memungkinkan akuntabilitas: Pemimpin pelayan menumbuhkan budaya yang memungkinkan akuntabilitas;
- Memiliki pandangan ke depan: Pemimpin pelayan selalu memperhatikan masa depan dan mengantisipasi segala hal yang dapat memengaruhi organisasi;dan
- Memiliki visi yang kuat: Pemimpin pelayan memiliki visi yang kuat untuk organisasi mereka.
Bedanya dengan Nabi Muhammad SAW, kepemimpinan pelayan ini bukan hanya diajarkan tapi dilaksanakan sebagai teladan bagi umatnya
Khalifah Umar dan Ibu yang Memasak Batu
Kepemimpinan pelayan ini bukan hanya dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW, namun juga oleh Khulafaur Rasyidin. Kita mungkin sudah mengenal kisah Khalifah Umar bin Khattab dengan ibu yang memasak batu.
Pada suatu malam hari, seperti biasanya Khalifah Umar melakukan in cognito bersama sahabatnya Aslam. Umar bin Khattab mendengar suara tangis anak kecil dari sebuah rumah gubuk sederhana dan melihat seorang ibu sedang memasak batu untuk menghibur anaknya. Umar bin Khattab merasa teledor sebagai pemimpin dan pergi menangis memohon ampun kepada Allah SWT. Ia kemudian pulang dan mengambil sekarung gandum untuk dibawa ke rumah ibu tersebut. Umar bin Khattab memasak gandum tersebut dan setelah matang, ibu dan anak dipersilahkan makan sampai kenyang.
Keesokan harinya, ibu tersebut datang ke Baitul Mal untuk meminta jatah tunjangan pangan dan Umar bin Khattab menyambutnya dengan senyum bahagia. Ibu tersebut terkejut saat menyadari bahwa orang yang membantunya di malam buta adalah Umar bin Khattab. Ibu tersebut meminta maaf atas kata-kata zalimnya yang ia katakan padanya semalam dan Umar bin Khattab menjawab, ‘’Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku telah berdosa karena membiarkan seorang ibu dan anak-anaknya kelaparan di wilayah kekuasaanku, maafkan aku ibu’’.
Mari kita berdoa agar kita diberi pimpinan dari tingkat nasional adalah pemimpin yang melayani umatnya, demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat dunia dan akhirat. Bukan sebaliknya, pemimpin yang minta dilayani yang lebih mementingkan diri, keluarga dan golongannya.(*)
Penulis adalah Pengamat Sosial Politik dan saat ini sebagai Plh Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)