Oleh: Hurnawijaya Al-Khairy │
PULAU Lombok selama ini dikenal sebagai “Pulau Seribu Masjid“. Julukan ini bukanlah kiasan belaka. Data dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa jumlah masjid di Pulau Lombok mencapai hampir 9.000 masjid dengan perincian 3.767 masjid besar dan 5.184 masjid kecil (mushalla) yang tersebar bahkan di dusun-dusun terpencil.
Selain itu, di setiap desa, hampir dapat dipastikan terdapat lebih dari satu Pondok Pesantren atau madrasah, majlis ta’lim hingga Taman Pendidikan Al-Qur’an. Keberadaan tuan guru sebagai figur sentral dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat semakin mengokohkan Lombok sebagai salah satu pusat peradaban Islam di kawasan timur Indonesia.
Namun ironi menyapa manakala pemandangan di jalanan desa hingga kota menunjukkan hal yang bertolak belakang. Dalam tradisi Nyongkolan misalnya, yang seyogianya menjadi perayaan sakral atas penyatuan dua insan dalam ikatan pernikahan, justru marak dipertontonkan adegan-adegan joget “ancok-ancok” yang erotis, liar, dan menurut hemat kami destruktif terhadap nilai-nilai moral.
Musik kecimol yang mengiringi joget itu adalah perpaduan dangdut koplo, disko, dan tradisi lokal, membentuk suasana hura-hura massal sepanjang jalan yang dilewati nyongkolan. Joget tersebut ditarikan oleh penari jalanan baik laki-laki maupun perempuan yang menampilkan gerakan tubuh sensual di hadapan publik, tanpa batas usia penonton. Dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua renta berbaris sepanjang jalan menyaksikan.
Fenomena ini melahirkan paradoks sosial yang dalam dan perlu mendapat perhatian. Masyarakat yang secara struktural dan kultural sangat religius justru membiarkan bahkan memfasilitasi tontonan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai religiusitas yang mereka anut.
Dalam beberapa kasus yang viral di media sosial, malah terkadang rombongan tersebut persis berada di area masjid atau pesantren. Seringkali pula kegiatan tersebut diwarnai kericuhan dan tawuran karena terkadang sebagian pesertanya dalam pengaruh minuman keras yang memabukkan. Maka, wajar jika publik bertanya: Apakah kita sedang mengalami disonansi moral massal? Mengapa budaya populer seperti ini bisa mengakar dalam tanah yang subur oleh syiar Islam dan nilai-nilai religius?.
Joget Ancok-Ancok: Transpormasi dari Simbol Sakral ke Konsumsi Spektakel
Untuk memahami mengapa fenomena ini bisa terjadi, kita perlu menelaah perubahan orientasi budaya dalam masyarakat. Nyongkolan awalnya adalah peristiwa sosial-religius yang sakral. Ia merepresentasikan kesungguhan keluarga pengantin dalam mengumumkan pernikahan kepada khalayak, diiringi rasa syukur dan doa.
Pengiring nyongkolan tradisional biasanya adalah gendang beleq atau gamelan, yang memainkan alunan musik adat dengan nuansa religius dan khidmat. Dalam skripsi yang saya tulis tahun 2011 silam, Nyongkolan dalam tradisi masyarakat Sasak Lombok adalah upaya untuk i’lan (mengumumkan) pernikahan sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW dalam sebuah hadits untuk mengumumkan pernikahan dengan memukul rebana sebagai perayaan.
Namun, dalam dua dekade terakhir, terjadi pergeseran nilai dan selera. Modernisasi dan globalisasi yang ditandai dengan terbaginya kehidupan menjadi dunia nyata dan dunia maya, menciptakan kultur baru yang mengejar hiburan, euforia, dan ekspresi bebas. Musik kecimol yang awalnya muncul sebagai bentuk kreativitas lokal kemudian berkembang menjadi medium pesta jalanan. Tarian ancok-ancok yang menyertainya mengalami degenerasi bentuk, dari gerakan simbolis ke gerakan erotis. Budaya tontonan menggeser budaya tuntunan.
Fenomena ini semakin marak terjadi dengan adanya kompetisi sosial, siapa nyongkolan yang paling ramai, paling heboh, paling “viral” di media sosial, mendorong masyarakat untuk berlomba membuat acara yang spektakuler. Fenomena ini mengindikasikan pergeseran nilai dari esensi (makna) ke eksistensi (penampakan). Seolah-olah nilai sebuah pernikahan diukur dari seberapa heboh iring-iringannya, esensi nyongkolan dilihat dari berapa ‘barungan’ team musik yang menyertainya, bukan dari keberkahan relasi dua insan yang terikat semata dalam aqad nikah yang sah.
Dalam pendekatan sosiologis, budaya populer tidak sekadar hiburan. Ia adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh relasi kuasa, simbol, dan konsumsi. Teori cultural studies yang digagas Stuart Hall dan Antonio Gramsci (1964) menyebutkan bahwa budaya populer sering kali merupakan alat hegemoni, yaitu proses dominasi nilai melalui persetujuan (consensus), bukan paksaan.
Dalam konteks Lombok, budaya joget ancok-ancok tidak lahir dari ruang kosong. Ia dibentuk oleh kebutuhan akan eksistensi sosial, disuplai oleh industri hiburan lokal, dan dilegalkan oleh kelonggaran norma yang terjadi di ruang publik. Sosial media yang bekerja berdasarkan algoritma mempercepat penyebarannya, menjadikannya viral dan diimitasi secara massal.
Masyarakat yang tidak ingin ketinggalan zaman pun ikut arus. Maka jadilah budaya populer ini sebagai “new normal”, diterima bahkan oleh masyarakat yang religius. Terlebih memang semakin ke sini media sosial banyak dijadikan tren oleh generasi milenial yang seringkali hanya ikut-ikutan tanpa filter. Budaya popular menjadikan standar tidak lagi berdasarkan nilai sacral tetapi berdasarkan apa yang sedang viral.
Secara simbolik, budaya populer ini menawarkan bentuk pelarian dari rutinitas dan represi sosial. Dalam masyarakat yang masih didominasi nilai-nilai patriarki dan kontrol moral yang ketat, tarian bebas ancok-ancok bisa jadi menjadi ruang katarsis kolektif, baik bagi penonton maupun penarinya. Namun sayangnya, katarsis ini tidak mendidik, melainkan merusak.
Dampak Sosial dan Keagamaan: Normalisasi Kemunduran Nilai
Dampak sosial dari budaya joget ancok-ancok sangatlah luas. Ia menyebabkan disorientasi moral, terutama pada generasi muda yang belum memiliki filter nilai yang kuat. Adegan-adegan erotis yang dipertontonkan secara massal tanpa sensor menciptakan normalisasi terhadap perilaku yang sebelumnya dianggap tabu. Ketika hal yang tabu menjadi tontonan biasa, maka krisis akhlak tidak lagi tinggal ancaman, melainkan telah menjadi kenyataan.
Dari sisi keagamaan, fenomena ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Islam mengajarkan pentingnya menjaga pandangan (ghaddul bashar), kesopanan, dan adab dalam setiap aspek kehidupan. Pamer aurat dan gerakan erotis dalam ruang publik adalah bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut. Lebih jauh, ketika tontonan ini terjadi dalam konteks ritual sosial seperti nyongkolan, maka itu mencemari makna religius dari pernikahan itu sendiri.
Ironisnya, masyarakat yang menyelenggarakan acara ini bukan orang-orang awam dalam hal agama. Bahkan tidak jarang, keluarga pengantin adalah jamaah tetap masjid, pengurus majelis taklim, atau bahkan anak cucu dari tokoh agama. Ketika yang mengadakan nyongkolan misalnya adalah anak atau cucu tuan guru, maka seakan itu adalah legitimasi dan pengakuan akan kebolehan praktik tersebut.
Pikiran bahwa Nyongkolan tidak terjadi setiap hari bahkan mungkin bisa jadi sekali seumur hidup dianggap sebagai alasan pembenar (baca: normalisasi) untuk mempraktikkan kegiatan pelanggaran. Di sinilah paradoks itu menjadi sangat menyakitkan. Kita menyaksikan bagaimana simbol religiusitas berjalan berdampingan dengan pertunjukan vulgaritas. Tidak ada lagi garis batas antara yang sakral dan profan.
Seruan Rekonstruksi Makna Budaya
Budaya populer adalah medan tempur nilai. Ia bisa menjadi jembatan untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur, tetapi juga bisa menjadi palu godam yang menghancurkan sendi-sendi akhlak. Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah adalah semboyan utama dalam konservasi tradisi untuk tetap sesuai dengan tuntunan syariat. Fenomena joget ancok-ancok dalam prosesi nyongkolan menunjukkan bahwa kita sedang berada di persimpangan jalan: antara mempertahankan nilai, atau membiarkan kemunduran menjadi hal yang biasa.
Sebagai bagian dari masyarakat Lombok, yang kebetulan sebagai akademisi dan pimpinan pesantren kita perlu bertanya dengan jujur: Apakah kita sedang merayakan budaya atau sedang membiarkan moralitas kita runtuh perlahan? Jika tidak ada yang berani bersuara, maka yang akan bersuara adalah Sejarah buram yang mencatat kemunduran kita sebagai akibat dari diam yang panjang. Kemungkaran dan kemaksiatan tidak terus-menerus terjadi karena banyaknya orang-orang buruk tetapi juga karena diamnya orang-orang baik.(*)
Penulis Dosen UIN Mataram/Pengasuh Pondok Pesantren Daruttaqwa al-Khairiyah NW (PANDAWA NW) Teko