Oleh: Muhamad Maimun │
Sebuah Pertanyaan Eksistensial di Tengah Filter
Coba perhatikan sekeliling kita. Kita hidup di masa kini di mana para remaja secara bersama-sama memilih untuk tidak menyukai wajah mereka sendiri. Ini terdengar terlalu ekstrem, tapi data menunjukkan fakta bahwa lebih dari 70% remaja merasa stres dan tidak percaya diri dengan penampilan mereka saat mengunggah foto.
Penggunaan filter kecantikan yang sangat populer bahkan menciptakan istilah “Snapchat Dysmorphia,” yang memicu gangguan makan. Jelas, ini bukan lagi sekadar tren estetika biasa, melainkan sebuah krisis eksistensial yang disebarkan oleh algoritma.
Kita menyaksikan bagaimana generasi muda terpaksa menjadi Simulacra (citra tanpa realitas), menjauh dari Fitrah (kodrat asli) mereka, hanya demi mendapatkan pujian sementara yang kita sebut “like.”
Dampak yang terlihat, seperti stres dan citra tubuh yang buruk, hanyalah permukaannya. Masalahnya justru lebih dalam, yaitu benturan antara teknologi yang memaksa performa dan tujuan mendasar perkembangan diri manusia.
Krisis identitas di Era Filter ini memaksa kita untuk meninjau ulang dua pilar dalam karakter manusia yaitu Filsafat Pendidikan yang menginginkan otentisitas, serta Etika Islam yang mengajarkan ketulusan.
Ketika Identitas Menjadi Cair di Dunia “Hiper-Realitas”
Mari kita lihat dari sudut pandang filsafat pendidikan. Tujuan pendidikan seharusnya membentuk seseorang yang autentik dan berintegritas. Tapi kini kita terjebak dalam konsep Hiper-Realitas menurut Jean Baudrillard.
Gambar-gambar digital yang telah diproses dan diedit justru menjadi Simulacra, yaitu gambar tanpa acuan nyata. Pendidikan seharusnya melatih kita berpikir kritis, tetapi justru membuat kita menerima gambar yang validasinya ditentukan oleh algoritma.
Di sisi lain, kita hidup di era Liquid Modernity, istilah yang digunakan oleh sosiolog Zygmunt Bauman. Identitas kita kini tidak lagi stabil, melainkan fleksibel, rapuh, dan terus-menerus diubah agar sesuai dengan tren media sosial.
Krisis muncul karena nilai diri sekarang dicari melalui validasi eksternal, seperti jumlah likes dan followers. Pendidikan yang hanya fokus pada keterampilan teknis gagal memberi bekal kemandirian eksistensial, sehingga membuat kita terus-menerus terombang-ambing dalam arus identitas yang cair.
Jebakan Riya Digital
Krisis ini semakin parah jika kita lihat dari sudut pandang Etika Islam. Dalam Islam, kita lahir dengan sifat Fitrah, yaitu dalam keadaan suci dan lurus. Identitas sejati manusia adalah ketundukan pada kodrat yang seharusnya di pedomani.
Yang pertama, filter dan penyuntingan yang banyak adalah bentuk penolakan halus terhadap keadaan asli diri kita, yang sebenarnya harus kita syukuri. Kita semakin didorong untuk mengedit bentuk fisik dan cerita hidup, menjauhi fitrah, demi mencapai kesempurnaan yang buatan.
Yang kedua, ini terkait dengan Riya Digital. Riya adalah melakukan kebaikan demi mendapat pujian dari orang lain ini adalah bentuk syirik kecil yang merusak ketulusan hati. Media sosial dibuat untuk memudahkan hal ini. Setiap unggahan seolah-olah adalah undangan untuk mendapat pujian.
Ketika nilai diri kita diukur dari jumlah likes, secara spiritual kita justru mengutamakan pujian manusia di atas kebahagiaan Illahi. Inilah krisis spiritual yang menjadi dasar dari kerentanan identitas kita.
Seruan untuk Menjadi Otentik
Kita sudah tahu krisis identitas di masa kini adalah hasil dari dunia hiper-realitas dan modernitas cair. Ini mencerminkan krisis spiritual di mana dunia maya menggantikan keikhlasan dan menjauhkan kita dari fitrah asli.
Filter hanyalah gejala; penyebab utamanya adalah sistem nilai yang mengutamakan penampilan di atas kejujuran. Jadi, apa yang harus kita lakukan?
Sudah saatnya kita berhenti melakukan penambangan perhatian dan segera melakukan perubahan filosofis dalam dunia pendidikan. Pendidikan harus kembali ke tujuannya yang sebenarnya: membentuk manusia yang autentik, jujur, dan mandiri.
Kepada para pendidik: Jadilah pengajar yang otentik, bukan hanya pelatih performa. Sisipkan materi tentang literasi filter yang membantu siswa menguraikan ilusi dan meningkatkan kesadaran diri.
Kepada para orang tua, doronglah anak untuk introspeksi daripada hanya mengejar jumlah like dan follower, ajak anak berdiskusi tentang etika berbicara buruk dan pentingnya proses penjelasan (tabayyun) di dunia maya.
Hanya dengan memberi generasi digital kebrmanfaatan positif dalam kehidupan dan kekuatan spiritual, kita bisa memastikan mereka memilih realitas yang jujur, bukan ilusi yang mudah lenyap dengan satu sentuhan jari.(*)
Penulis adalah Mahasiswa S3 UNUJA Piton Probolinggo dan Dosen IAI Qomarul Huda Bagu NTB, E-mail: abimaimun80@gmail.com
















