Oleh: Muhammad Nursandi │
HABIS pulang dari Jember Festival Carnaval (JFC) yang telah diadakan sebanyak 23 kali sejak pertama kali muncul di tahun 2003 silam. JFC merupakan festival yang menggabungkan seni fashion dengan 3 seni lainnya yaitu tari, musik, dan sekaligus seni pertunjukan. Dengan gabungan banyak seni, JFC nampak sebagai perayaan akbar di dunia, sehingga di kategorikan sebagai festival nomer 4 dunia.
Setiap tahun JFC membuat tema dari semua gabunga fashion baik fashion genre lokal, nasional, regional bahkan internasional. Dari telusuran yang diadakan tiap tahun JFC pernah mengambil gabungan tema seperti tema gypsy, punk, cowboy dan kemarin gabungan fashion Indonesia – Jepang. Jadi dari JFC ini dapat diambil pembelajaran bahwa tidak ada penyelenggaraan fashion yang monoton, melainkan mengambil semua bentuk.
JFC memberikan referensi bahwa kebudayaan (fashion) tidak bisa lagi diartikan sebagai pertunjukan sebuah entitas tunggal. Melainkan pertunjukan dari berbagai entitas kebudayaan. Masyarakat Jember sendiri sedari awal sudah menyadari bahwa sulit menemukan kebudayaan asli Jember, melainkan Jember adalah gabungan kebudayaan para pendatang dari 8 penjuru mata angin, sehingga dalam perjalanannya JFC berkembang menjadi gabungan pertunjukan “global”.
Alih-alih hendak menonjolkan fanatisme kebudayaan lokal justru yang nampak adalah pertunjukan kebangsaan yang sesekali di sisipi tema multi bangsa. Kajian mengenai fanatisme kebudayaan sepertinya harus mendapatkan evaluasi dewasa ini. Evaluasi ini berkaitan dengan keberadaan “satu dunia” yang ditekan oleh jaringan internet antar negara dan benua.
Dengan demikian tidak ada pijakan yang terlalu kuat bagi entitas kebudayaan lokal untuk secara “ngotot” ditampilan sendirian terus atau tampil dengan sajian monoton berulang kali. Bisa jadi ini masih bisa dilakukan, namun bila mana mau mendatangkan gaung super kelas dunia seperti JFC hal itu tidak relevan. Melainkan saat nya kebudyaan lokal dikolaborasikan, dimunculkan tidak hanya satu, melainkan dimunculkan semuanya.
Oleh karenanya, potensi-potensi semua fashion lokal harus ditampilkan. Semua kreasi seni harus naik panggung pentas yang nantinya dapat dikombinasikan dengan semua ragam fashion. Jika hal ini sudah menjadi kesadaran bersama, maka barulah ada mimpi untuk penyelenggaraan Lombok Festival Carnaval ke depannya.
Jargon kolaborasi bukan kompetisi sangat bersesuaian pada konteks ini. Kebudayaan lokal tidak akan pernah dapat mendunia karena bagaimana pun masyarakat lain juga mempunyai kebudayaan sendiri. Oleh karena itu, jalan yang dapat ditawarkan adalah kolaborasi di mana masyarakat lokal juga harus terbuka dengan kebudayaan lain dan pada saat yang sama ditaruh dipanggung dengan modifikasi di satu sisi dan dijaga pula keaslian dan kelestariannya di sisi yang lain.
Bagaimana pun dunia kini tidak bisa lagi didekati dengan pemahaman center (pusat) dan phery-phery (cabang dari pusat), melainkan harus didekati lewat pemahaman saling ketergantungan (intrdependensi). Hal ini tidak sekadar berlaku di bidang ekonomi, politik dan perdagangan, namun juga dapat diaplikasikan di bidang kebudayaan. Sebab bagaimana mau mendunia kan kebudayaan sendiri sedangkan masyarkat sendiri “menutup atau antipati” terhadap kebudayaan di luar.
Oleh sebab itu, JFC yang baru saja berlalu menemukan pijakannya yang kuat di era dewasa ini. Model JFC telah mengambil hati masyarkat dunia karena memang JFC tidak “ngotot mengklaim” 1 kebudayaan yang harus dipelihara, dilestarikan, dan dirayakan. Melainkan semua kebudayaan harus dikolaborasikan jikalau hendak mau menjadi perhatian dunia.
Dengan demikian NTB harus berusaha mengikuti jejak JFC. Apalagi di Lombok Timur telah ada festival fashion di Pringgasela. Sekarang tinggal bagaimana hal itu diperkaya dengan semua fashion yang ada di NTB lalu ada kelengakapanya dari berbagai seni seperti musik, tari dan pertunjukan. Pada konteks inilah ada harapan NTB bisa mewujudkan jargon ”Makmur Mendunia” seperti yang sering disampaikan oleh Miq Iqbal (Gubernur NTB, Red) di berbagai kesempatan.(*)
Penulis adalah Pemerhati Kebudayaan dan Film Maker