JAKARTA, LOMBOKTODAY.ID – Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma menyinggung sederet persoalan pendidikan di sejumlah daerah, utamanya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang masih terjadi hingga saat ini, seperti menyangkut kekurangan tenaga guru, akses ke sekolah yang sulit, fasilitas yang minim, keterbatasan ekonomi orangtua, kualitas pendidikan yang tidak merata.
‘’Masalah kekurangan guru di daerah terpencil dan terluar, di daerah pedalaman masih menjadi kendala. Kita lihat data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI), terdapat sebanyak 3,36 juta guru di Indonesia pada semester ganjil tahun ajaran (TA) 2023/2024. Meski begitu, wilayah Indonesia Timur, terutama Papua memiliki jumlah guru terendah. Tak jarang kita temui sekolah di Papua itu hanya ada satu atau dua guru yang mengajar semua kelas, bahkan ada sekolah yang saya temui di Papua Barat dipalang orangtua, karena proses belajar-mengajar mandek sejak Januari lalu karena tidak ada guru,’’ kata Filep dalam keterangan resminya, Jum’at (6/12/2024).
Data menunjukkan, lanjut Filep, wilayah Indonesia bagian timur memiliki ketersediaan tenaga pengajar yang lebih rendah dari wilayah lainnya. Berikut 10 provinsi dengan jumlah guru terendah di Indonesia pada semester ganjil Tahun Ajaran 2023/2024, yakni; 1) Papua Pegunungan (6.932 orang); 2) Papua Selatan (8.283 orang); 3) Papua Barat Daya (9.855 orang); 4) Papua Tengah (9.936 orang); 5) Papua Barat (10.181 orang); 6) Kalimantan Utara (12.889 orang); 7) Papua (15.989 orang); 8) Gorontalo (18.735 orang); 9) Kepulauan Bangka Belitung (19.196 orang); dan 10) Maluku Utara (27.057 orang).
‘’Lalu, kendala akses dan jarak tempuh ke sekolah juga masih menjadi kendala berarti. Tentu kita tahu tiga siswa Sekolah Dasar (SD) di Pangkep, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan harus berjalan kaki sejauh 10 km ke sekolah. Dua siswa SD di Bone harus menyeberangi sungai besar dengan perahu kecil setiap harinya, ini juga terjadi di NTT, di Banggai Sulteng, Lampung, Padang Galo, Mamuju dan banyak daerah lainnya. Para siswa ini harus berjuang bahkan mengancam keselamatan jiwa untuk mencapai sekolah, untuk mendapat pendidikan,’’ urai Filep.
Lebih lanjut, Filep yang berlatar belakang akademisi itu juga mengungkapkan minimnya akses internet yang kini menjadi penunjang pendidikan. Ia menyinggung, hasil Survei APJII menyampaikan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang masih belum tersentuh internet pada 2024 ada sebanyak 57 juta jiwa.
‘’Survei itu menunjukkan, tingkat penetrasi internet di Maluku dan Papua mencapai 69,91 persen, bahkan masih lebih baik dari Pulau Sulawesi yang hanya 68,35 persen. Tingkat penetrasi di 3T juga belum signifikan, tingkat penetrasi internet 67,6 persen. Akses internet semakin dibutuhkan sebagai langkah alternatif mengakses sumber pengetahuan di daerah yang belum memiliki ketersediaan buku secara memadai,’’ ungkapnya.
‘’Atas persoalan itu, diperlukan perhatian dan kolaborasi semua pihak, utamanya kebijakan pemerintah pusat, sinergi pemerintah daerah hingga dukungan masyarakat. Harapannya pembangunan pendidikan di daerah dapat terwujud dengan sinergi baik dari semua lini untuk mewujudkan pendidikan nasional yang unggul dan berkualitas, tentunya untuk mencapai generasi Indonesia EMAS 2045,’’ sambungnya.
Untuk itu, Filep menekankan pentingnya memajukan pendidikan di daerah, di seluruh penjuru nusantara. Karena menurut Filep, cita-cita mencapai pendidikan nasional yang unggul, hanya dapat dibangun dengan memajukan pendidikan di daerah sebagai pondasi yang kokoh.
‘’Apabila kita ingin membangun dan mewujudkan pendidikan yang bermutu di NKRI ini, maka dimulai dari daerah. Inilah yang saya sebut Pendidikan yang Berkeadilan yakni kesetaraan yang dimulai dari daerah. Artinya pendidikan itu adalah kebutuhan dasar manusia, hak semua warga negara tanpa terkecuali. Maka memenuhi hak pendidikan itu adalah kepentingan bersama, dengan memastikan peningkatan mutu pendidikan di daerah dikelola secara profesional. Hal itu harus didukung dengan keberadaan SDM pengelola yang memiliki nilai-nilai profesionalitas, utamanya berpikir kritis, kreatif, inovatif dan bila perlu didukung pengalaman yang mumpuni. Itulah yang saya maksud dengan sistem Pembangunan Pendidikan di Daerah,’’ jelas Filep.
Secara konseptual, senator Papua Barat itu menguraikan bahwa Sistem Pendidikan dibangun atas dasar 3 hal pokok antara lain: Pertama, Substansi/Regulasi Hukum yang berkualitas. Menurutnya, dalam hal ini, aturan nasional terkait pendidikan harus diikuti secara terintegrasi dengan pendidikan di daerah, tanpa melupakan kearifan lokal daerah.
‘’Kedua, Struktur atau para penyelenggara pendidikan yang berkualitas. Artinya, guru-guru, pengasuh, pendamping, pembimbing, yang punya kemampuan mumpuni untuk mengajar. Guru-guru di daerah juga harus selalu mengupgrade diri sehingga tingkat pengetahuan dan kemampuan peserta didik selalu terjaga kualitasnya melalui transfer ilmu yang berjalan dengan baik. Selain unsur Regulasi dan Struktur yang berkualitas, maka harus dilengkapi dengan unsur ketiga, yakni Fasilitas/sarana prasarana sebagai penunjang pendidikan. Gedung-gedung sekolah dan semua fasilitas yang lain di daerah, harus bisa membuat murid merasa ‘’at home’’, memiliki rumah,’’ kata Filep sembari menjelaskan, untuk sampai pada titik ini, dukungan anggaran harus kuat dengan alokasi yang tepat sasaran. Maka ketiga unsur ini kalau dibangun secara kuat di daerah, maka pasti pendidikan akan berhasil dan terjaga kualitasnya.(arz)