Oleh: Abah Muazar Habibi |
VISI besar yang selama ini dijanjikan dengan bangga: “NTB Gemilang yang Mendunia”, kini terdengar kosong di telinga rakyat. Bukan karena mimpi itu terlalu tinggi, tapi karena langkah-langkah kepemimpinan yang justru berjalan mundur. Ironisnya, hal ini kembali diperlihatkan melalui pernyataan keliru Gubernur NTB yang kini viral di media sosial — blunder kedua setelah sebelumnya juga salah menyampaikan data inflasi 1,47%.
“Pak Gubernur, kalau sudah menjabat, pahamilah dulu apa itu wilayah kerja, apa itu otonomi, dan apa itu arti rakyat dalam demokrasi!”
Blunder terbaru ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi menunjukkan minimnya pemahaman terhadap batas-batas kewenangan, bahkan ketika berbicara langsung di hadapan Menteri Dalam Negeri. Lebih menyakitkan lagi, ini terjadi di tengah kegagalan besar merealisasikan visi globalisasi NTB yang mendunia, yang digadang-gadang menjadi branding utama pemerintah daerah selama lima tahun terakhir.
Visi “NTB Mendunia” butuh pemimpin yang berkelas dunia. Tapi jika batas wilayah saja tidak bisa dibedakan, di mana letak ‘mendunia’-nya?
Bagaimana rakyat bisa percaya NTB siap bersaing secara global jika pemimpinnya justru tersandung pada konsep dasar otonomi?
Kekecewaan masyarakat bukan tanpa sebab. Selama ini rakyat NTB bersabar, memberi ruang, bahkan ikut mendukung program pembangunan. Tapi saat Gubernur sendiri menyampaikan pernyataan yang salah — tidak sekali, tapi dua kali — wajar jika muncul suara seperti ini:
“Bapak sudah melarang Buana ke penjuru dunia, tentu paham dong, kapan Bapak adalah seorang Gubernur, bukan hanya warga Kota Mataram.”
Kalimat ini bukan hanya kritik, tapi refleksi perasaan kolektif masyarakat yang kecewa karena pemimpinnya dianggap tidak cakap dalam membangun kepercayaan, apalagi memimpin daerah dengan visi internasional.
“Sedih saya, Pak…”
Kalimat ini sederhana, tapi penuh makna. Karena rakyat tidak hanya butuh pembangunan fisik, tapi juga arah visi yang jelas, komunikasi yang tepat, dan pemahaman utuh tentang amanah jabatan.(*)
Penulis adalah Pimpinan Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School dan Pemerhati Masyarakat