Oleh: Mohamad Baihaqi |
DI PERPUSTAKAAN, buku tak sekadar pajangan dan pustakawan bukan berarti sebagai penjaga buku. Buku dan pustakawan berperan menghidupkan perpustakaan yang tak terbatas hanya dalam dinding gedung, melainkan juga bertanggungjawab menjadikan lingkungan sosial sebagai living library, perpustakaan inklusif yang hidup bersanding bersama warga sebagai pemustaka.
Saya menyadari, literasi memang tak sekadar membaca dan menulis. Meningkatkan literasi tak melulu harus dipahami sebagai seberapa banyak buku dibaca, seberapa kuat dorongan atau paksaan mendaras teks. Buku dan minat baca hanya sebagai salah satu indikator semata. Akan tetapi yang lebih utama adalah membangun rasa ingin tahu (kuriositas) terhadap hal-hal baru di sekitaran yang dilakukan secara dialogis-partisipatif.
Pada titik ini, literasi hadir sebagai gugus kesadaran dialektis untuk terus bergerak meningkatkan pengetahuan dengan menggali, bertanya, dan menyisir peristiwa lewat cara belajar investigatif. Dengan begitu, ketika seseorang melihat laut misalanya, ia dapat belajar kenapa air laut pasang dan surut, kenapa nelayan menangkap ikan dini hari, kenapa struktur sosial nelayan lebih setara, dan bagaimana sejarah maritim kita? Rasa ingin tahu itu lantas menyebar menjadi pengetahuan yang maha luas tak terkira. Itulah yang mendorong saya selaku Relima melakukan kolaborasi untuk berupaya terus berdampak.
Pantulan Senja dan Liyan yang Berdaya
Begitu tiba di Bintaro, saya disambut oleh cahaya senja dari pantai. Cahaya itu memantul ke tubuh saya. Di tempat itu, aroma asin laut menyebar di udara, perempuan sibuk memilah ikan, sebagian lainnya membantu suaminya merapikan jala. Begitu menatap anak-anak di sana, saya seperti melihat bunga yang tengah tumbuh dari matanya.
Persis di gapura kelurahan, berjejer makam Tionghoa yang berdampingan dengan Pura Segara yang terletak di bibir pantai. Masuk ke pemukiman, terdapat masjid yang berdiri megah di tengah warga yang konon memiliki pertalian silsilah dari Bugis. Di samping heterogen, Bintaro juga menjadi simpul historis yang menjadi awal mula terbangunnya peradaban metropol dari ujung barat Kota Mataram.
Menyadari kondisi tersebut, pegiat literasi Pesisi Juang mendiskusikan strategi mengemas kampung tersebut sebagai simbol multikulturalisme yang terpancak secara organik oleh jejak sejarah yang berasal dari pingggir Kota Mataram. Dari sana digagas tour guiding sejarah. Guiding tersebut dilakukan oleh pemuda setempat bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bintaro dan objek wisata sebelahnya; Pantai Ampenan dan Senggigi.
Selain itu, lewat pelbagai kegiatan, mulai dari baca bareng hingga terlibat dalam larung laut sebagai bagian dari bentuk pendidikan ekologis bagi anak-anak sebagai pemegang tongkat estafet. Dengan begitu, mereka dapat memaknai larung laut sebagai bentuk hubungan yang saling menjaga dengan semesta. Anak-anak pantai di Bintaro dapat lebih memahami diri dan lingkungan sebagai penyatuan. Mereka mulai menyadari misalnya bagaimana karakternya dibentuk oleh lingkungan keluarga pelaut yang tak kenal takut menantang hidup.
Di titik lain, bergeser ke pinggir Selatan Kota Mataram, persis di pesisir pantai Tanjung Karang, terdapat Yayasan Sehati yang bergerak di bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pada pagi hari, saya melihat anak-anak bersemangat bermain sembari belajar, tapi saya juga melihat ibu-ibu berkumpul dan ngobrol sambil memerhatikan anaknya yang tengah belajar.
Bersama Bu Umi, pendiri Yayasan Sehati, saya berdiskusi mengenai kegelisahannya mendengar bahan pembicaraan ibu-ibu yang baginya harus diarahkan ke ruang yang lebih positif. Dari diskusi tersebut, kami sepakat di hari lain, selama seminggu sekali, mengadakan diskusi ringan mulai dari tema kekerasan seksual hingga menyentuh problem buruh migran.
Di kegiatan tersebut, saya mendatangkan sejumlah aktivis untuk membahas kedua isu tersebut. Setelah tiga kali pertemuan, ibu-ibu di Tanjung Karang mulai menyadari perannya sebagai orang tua sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Mereka juga mulai membentengi anaknya untuk berani berbicara (speak up) bilamana mengalami kekerasan seksual baik di lingkungan sekitar maupun di sekolah.
Langkah semacam itu sebagai strategi awal dalam memberikan pemahaman ihwal problem kekerasan seksual dan upaya menekan angka buruh migran yang dimulai di lingkungan masing-masing. Di samping itu, fasilitator dari Solidaritas Perempuan acap menekankan kemandirian melalui pengelolaan sumber daya ekonomi setempat secara optimal sebagai bentuk upaya menekan angka buruh migran yang melonjak di tempat tersebut.
Dari pinggir, bersama kelompok rentan, transformasi sosial berbasis literasi di tengah masyarakat kami mulai. Meski konsistensi ke depan menjadi tantangan bersama, namun dua komunitas di atas setidaknya menunjukkan arah gerakan literasi sebagai living library yang hidup dan bersenyawa dengan warga untuk berdaya dan berdampak meningkatkan martabat bangsa.
Pada titik ini, saya, selaku Relima menangkap pantulan cahaya transfromasi warga. Saya melihat cahaya senja dari arah magrib di pantai itu terbenam pelan-pelan. Hanya saja pada saat yang sama, mata anak-anak dan remaja di sana telah menyaru menjadi senja baru yang cahayanya memantul dalam gelombang pikiran dan perasaan saya.(*)
Penulis adalah Relima Kota Mataram dan Bergiat di Egalita Litera