DPR RI Minta Semua Pihak Harus Duduk Bersama Untuk Lindungi Tenaga Kerja dan Petani Tembakau

- Jurnalis

Selasa, 12 November 2024 - 14:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DISKUSI: Para narasumber pada acara Diskusi Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau, di Ruang PPIP Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2024).

DISKUSI: Para narasumber pada acara Diskusi Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau, di Ruang PPIP Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2024).

JAKARTA, LOMBOKTODAY.ID – Rencana aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) menuai protes dari berbagai pemangku kepentingan di industri tembakau dan Kementerian/Lembaga terkait.

Isu ini menjadi polemik berkepanjangan, karena proses penyusunan Rancangan Permenkes tersebut kembali dilanjutkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di periode kerja Kabinet Merah Putih.

Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya menyatakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah harus mengedepankan kepentingan semua pihak tanpa terkecuali.

Khusus untuk Rancangan Permenkes, Willy meminta kepada semua pihak terkait untuk duduk bersama, bersikap objektif, dan tidak mengedepankan ego sektoral.

Willy menekankan bahwa industri tembakau memiliki kontribusi signifikan pada negara melalui cukai dan menyerap jutaan tenaga kerja. Apabila pemerintah, khususnya Kemenkes masih keras kepala dalam mendorong Rancangan Permenkes, maka aturan ini akan menimbulkan kegaduhan lebih lanjut yang membuat negara akan merugi.

‘’Peraturan yang dibuat bukan hanya mengedepankan satu kepentingan semata, karena ada kepentingan yang lebih besar yang harus kita lihat. Jika Kemenkes masih keras kepala untuk mendorong Rancangan Permenkes, maka bisa membahayakan kita semua,’’ kata Willy dalam Diskusi Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau, di Ruang PPIP Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selasa (12/11/2024).

Willy melanjutkan, Kemenkes seharusnya belajar dari kasus industri tekstil, di mana saat ini banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meningkatkan angka pengangguran. Maka, Willy menyampaikan agar Kemenkes tidak semena-mena dalam membuat kebijakan yang merugikan tenaga kerja dan petani tembakau. ‘’Kita harus belajar dari Sritex, kan jadi banyak pengangguran. Terus, masa kita mau bikin peraturan yang semena-mena? Ojo lah!,’’ ucap Willy.

Willy menegaskan posisi pihaknya yang mendukung petani tembakau, UMKM, dan pekerja yang terlibat di sektor pertembakauan. Sehingga, ia mengingatkan Kemenkes untuk memprioritaskan kepentingan yang lebih besar untuk dirumuskan bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait. ‘’Posisi saya itu I stand with you dengan para pelaku industri tembakau, terutama petani tembakau. Ayo kita semua lanjutkan perjuangan dan duduk bersama untuk merumuskan permasalahan ini,’’ tegas Willy.

Hal senada disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, Indah Anggoro Putri. Ia mengatakan bahwa Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 telah mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat, asosiasi, dan serikat pekerja.

Indah menjelaskan, bahwa Kemenaker sangat khawatir terhadap kedua regulasi tersebut, karena berpotensi menambah angka PHK di Indonesia dalam jumlah yang signifikan, terlebih industri tembakau merupakan sektor padat karya.

‘’PP 28/2024 ini sudah banyak dikomplain oleh masyarakat dan pemangku kepentingan terdampak. Kemenaker juga menaruh perhatian khusus soal ini karena berpotensi menyumbang angka PHK. Terlebih, industri tembakau juga turut menggerakan sektor pendukung lain dengan jumlah tenaga kerja yang cukup banyak, contohnya sektor industri kreatif,’’ jelas Indah.

Indah melanjutkan bahwa sektor industri kreatif yang merupakan sektor pendukung industri tembakau, menyerap hingga 725.000 tenaga kerja. Oleh karena itu, jika kebijakan-kebijakan tersebut didorong oleh Kemenkes, maka dikhawatirkan akan ada penambahan 725.000 tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan. ‘’Amit-amit, semoga ini tidak terjadi,’’ seru Indah.

Indah menuturkan, selain berdampak pada ekonomi, PHK juga akan berdampak pada kehidupan sosial, mengingat mayoritas tenaga kerja pada industri tembakau adalah perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga. ‘’Jika kebijakan ini tidak dikaji secara mendalam, maka dapat membahayakan sektor pekerja kita, yang di antaranya banyak kaum perempuan,’’ kata Indah.

Baca Juga :  Komite IV DPD RI Dukung Rencana Presiden Prabowo Hapus Utang Petani, Nelayan, dan Pelaku UMKM

Indah menyatakan, Kemenaker akan terus melakukan serap aspirasi kepada setiap masyarakat yang akan terdampak langsung dari kebijakan ini guna menemukan solusi terbaik. ‘’Kami akan melakukan serap aspirasi untuk lihat secara lebih dalam agar tidak ada pihak yang dirugikan. Untuk itu, kami minta agar selalu dilibatkan oleh Kemenkes dalam penyusunan kebijakan ini ke depannya,’’ ucap Indah.

Menanggapi banyaknya desakan dari berbagai pihak mengenai Rancangan Permenkes, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Hukum, Sundoyo berkomitmen akan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan pemangku kepentingan di industri tembakau.

‘’Saat penyusunan Peraturan Pemerintah ini sudah dilakukan serap aspirasi. Masukan saat kami melakukan serap aspirasi itu beragam dan ada yang pertimbangkan,’’ kata Sundoyo.

Sundoyo menjelaskan bahwa Kemenkes melihat ada dua kepentingan yang harus jadi titik temu, yaitu pertama dari sisi ekonomi, dan kedua dari sisi kesehatan. ‘’Dinamika diskusi pasti ada dalam mencari titik temu. Satu hal yang penting adalah bagaimana kebijakan ke depan ini harus dilakukan diskusi bersama agar tidak terjadi tumpang tindih. PP 28/2024 harus jadi win-win antara ekonomi dan kesehatan. Jika teman-teman ingin memberikan masukan terkait regulasi itu bisa melalui situs Kemenkes, yang dipersilakan khusus untuk bisa menyuarakan aspirasinya di situ,’’ jelas Sundoyo.

Sebaliknya, Ketua DPC Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Bondowoso, Muhammad Yasid pada kesempatan tersebut justru menyoroti proses penyusunan PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes yang dinilai diskriminatif dan tidak transparan.

‘’Ratusan masukan telah disampaikan pada situs partisipasi sehat, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut dari Kemenkes. Petani juga tidak pernah diundang pada sesi public hearing yang disebutkan Kemenkes tadi telah terlaksana pada September yang lalu,’’ kata Yasid.

Padahal, lanjut Yasid, bahwa perekonomian petani tembakau sangat bergantung dari komoditas tembakau, karena nilai ekonominya yang tinggi. ‘’Tanaman komoditas tembakau ini sangat menguntungkan, sehingga memang kami sangat bergantung pada tembakau ini. Mau bangun rumah, nunggu hasil tembakau, naik haji nunggu hasil tembakau,’’ terangnya.

Yasid mencontohkan di Bondowoso, pada tahun ini ada dua varietas tembakau, yakni kasturi dan ranjangan. Hitungan kasar pendapatannya per bulan bisa mencapai Rp12 juta. ‘’Jika dibandingkan komoditas lain, tembakau memberikan keuntungan yang jauh lebih tinggi,’’ ucapnya.

Untuk itu, Yasid menyampaikan Rancangan Permenkes menjadi pukulan telak bagi petani tembakau, karena dapat menghilangkan mata pencahariannya. Mewakili asosiasi, ia sepakat menolak Rancangan Permenkes karena memiliki dampak negatif yang luar biasa.

‘’Saya sudah diamanahkan dan diingatkan terus oleh teman-teman petani tembakau. Kami tolak Rancangan Permenkes yang mencakup penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini karena petani yang berada di hulu, akan terdampak jika aturan ini dilakukan. Kami berharap dalam forum ini bahwa nasib kami diperhatikan,’’ ungkapnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi menyatakan, kebijakan yang diinisiasi oleh Kemenkes ini perlu dikawal secara ketat, karena dapat memberikan dampak negatif bagi ekosistem pertembakauan, yang terdiri dari petani, pekerja, dan pedagang.

‘’Berkaca dari hasil Rapat Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes, dari semua anggota Komisi IX, hanya saya yang bertanya terkait kebijakan ini. Kami dari Fraksi NasDem sangat concern dengan kebijakan ini. Kami akan mengawal karena banyak sektor yang akan terkena imbasnya,’’ kata Nurhadi.

Nurhadi juga menyampaikan bahwa Kemenkes harus bersikap lebih bijaksana dalam menyusun kebijakan terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Baca Juga :  Tamsil Linrung Dorong Pemerintah Adopsi Padi Trisakti

‘’Masyarakat telah menyampaikan aspirasinya pada saat rapat kerja Komisi IX dengan Kemenkes. Waktu itu, Menteri Kesehatan setuju untuk menunda proses perumusan aturan dengan mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari terbitnya aturan tersebut, terutama dampak dari sisi ekonomi,’’ ujarnya.

Nurhadi menegaskan, bahwa sebuah kebijakan itu harus mempertimbangkan berbagai sisi dan pandangan, khususnya dalam Rancangan Permenkes harus diseimbangkan antara ekonomi dan kesehatan.

‘’Jangan sampai terjadi tumpang tindih antara keduanya, yaitu antara ekonomi dan kesehatan. Oleh karena itu, setiap regulasi itu perlu dikaji lebih mendalam terlebih dahulu,’’ tegasnya.

Di kesempatan yang sama, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna menjelaskan, bahwa pesantren juga seharusnya dilibatkan dalam proses perumusan Rancangan Permenkes karena banyak wali santri yang bekerja di bidang tembakau. Sehingga, P3M mempunyai tugas untuk melakukan advokasi kepada setiap wali santri yang terlibat langsung dalam industri tembakau.

Bila dilihat dari sisi agama, Sarmidi menyampaikan bahwa rokok jelas tidak diharamkan, berbeda dengan khamr (minuman keras) yang jelas haram. Menurutnya, permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar dan pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam dulu soal kebijakan tersebut.

Maka, Sarmidi meminta para pihak terkait di industri tembakau untuk lebih diperhatikan agar tidak ada kegaduhan lebih lanjut. ‘’Dari aspek keagamaan, Rancangan Permenkes memiliki dampak negatif yang lebih besar bagi petani, pekerja, pedagang ritel, dan UMKM, semua yang ada di ekosistem pertembakauan,’’ kata Sarmidi.

Selain itu, Ketua Perkumpulan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (PPKSI), Junaedi turut menyampaikan pendapatnya. Ia mengatakan bahwa pedagang secara tegas menolak Rancangan Permenkes yang akan menyeragamkan kemasan rokok tanpa identitas merek. Aturan ini dinilai tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan, sehingga sulit untuk diimplementasikan.

‘’Rencana penyeragaman kemasan ini akan menimbulkan kekacauan di lapangan. Kami menjual beragam varian rokok yang berbeda. Kalau ada rokok A dengan varian menthol, lalu ada rokok B dengan varian yang sama, nanti gimana kami menjualnya? Harus ada kebijaksanaan ini dari pemerintah,’’ tegas Junaedi.

Lebih lanjut Junaedi menerangkan, bahwa rokok merupakan produk yang turut memikat pembeli untuk dapat membeli produk lain. Sehingga, apabila penjualan rokok turun, maka berimbas pada penjualan produk lainnya.

‘’Aturan ini sangat menyulitkan kami menjual rokok di lapangan. Ditambah lagi, produk rokok ini kan legal, jadi tidak bisa dilarang, kan sudah ada pembatasan. Omzet kami pasti akan turun, rokok ini menarik produk lain untuk ikut terjual, tapi kalau rokok penjualan turun, yang lain pasti turun juga,’’ terangnya.

Junaidi, yang mewakili suara para pedagang toko kelontong, juga heran dengan aturan zonasi larangan penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang terdapat pada PP 28/2024, aturan turunan UU 17/2023, karena diskriminatif dan tidak adil terhadap pelaku usaha yang sudah lebih dahulu beroperasi pada lokasi tersebut.

‘’Bagaimana dengan anggota kami yang telah bertahun-tahun memiliki tempat usaha yang berdampingan dengan satuan pendidikan? Saya rasa kalau aturan ini tujuannya untuk mengurangi prevalensi perokok bagi anak dibawah usia 21 tahun, bukan hanya kami yang harusnya didiskriminasi. Harus ada kebijakan yang solutif terkait masalah PP 28/2024 ini dengan apa yang terjadi di lapangan. Kami bersama beberapa asosiasi ritel juga sudah menolak aturan ini saat PP 28/2024 belum disahkan,’’ ungkapnya.(Sid)

Berita Terkait

Bamsoet Ingatkan Ego Sektoral Bisa Akibatkan Industri Manufaktur Mati Suri
Sultan Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12% Januari 2025
DPD RI Siap Bentuk Pansus Judi Online
Keren!, Honda Scoopy Terbaru dengan Fitur Side Stand Switch
Pengukuhan Kepengurusan KWP 2024-2026, Ariawan Tekankan Kolaborasi dan Sinergi
Sultan Tegaskan Peran Strategis BUMN Dorong Sinergi Pembangunan Ekonomi dan Keberlanjutan Lingkungan
Kapolri Apresiasi Anggota Brimob Berhasil Bebaskan Pilot Susi Air Korban Penyanderaan KKB
Pimpin Delegasi Indonesia di COP29, Hashim Djojohadikusumo Pikat Pendanaan Hijau EUR 1,2 Miliar untuk Sektor Kelistrikan

Berita Terkait

Selasa, 19 November 2024 - 10:07 WIB

Bamsoet Ingatkan Ego Sektoral Bisa Akibatkan Industri Manufaktur Mati Suri

Selasa, 19 November 2024 - 09:28 WIB

Sultan Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12% Januari 2025

Jumat, 15 November 2024 - 16:11 WIB

DPD RI Siap Bentuk Pansus Judi Online

Jumat, 15 November 2024 - 15:08 WIB

Keren!, Honda Scoopy Terbaru dengan Fitur Side Stand Switch

Jumat, 15 November 2024 - 14:01 WIB

Pengukuhan Kepengurusan KWP 2024-2026, Ariawan Tekankan Kolaborasi dan Sinergi

Berita Terbaru

Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo.

Ekonomi & Bisnis

Bamsoet Ingatkan Ego Sektoral Bisa Akibatkan Industri Manufaktur Mati Suri

Selasa, 19 Nov 2024 - 10:07 WIB

Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin.

Ekonomi & Bisnis

Sultan Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12% Januari 2025

Selasa, 19 Nov 2024 - 09:28 WIB