JAKARTA, LOMBOKTODAY.ID – Tahun ajaran baru 2025–2026 yang telah dimulai sejak pertengahan Juli 2025, menjadi momentum penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Untuk itu, Komite III DPD RI memberikan perhatian serius terhadap proses pembelajaran di tahun ajaran baru, khususnya pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen RI).
Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma menegaskan, bahwa DPD RI akan mengawal ketat pelaksanaan SPMB 2025. Menurutnya, SPMB harus dijalankan sesuai prinsip keadilan dan transparansi. ‘’Jangan sampai ada praktik curang yang merugikan anak-anak bangsa. DPD RI akan terus memastikan agar setiap tahapan mulai pendaftaran, verifikasi dokumen, hingga pengumuman hasil seleksi berjalan jujur, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat,’’ kata Filep saat Rapat Dengar Pendapat (RDP), di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/8/2025).
Selain menyoroti SPMB, Komite III DPD RI juga memberi perhatian serius terhadap Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang saat ini sedang dibahas oleh Komisi X DPR RI dan ditargetkan selesai pada tahun 2025.
Revisi tersebut akan mengintegrasikan sejumlah regulasi, di antaranya; UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Filep menilai, revisi UU Sisdiknas menjadi momentum penting untuk menyatukan arah kebijakan pendidikan nasional, memperkuat posisi guru dan dosen, meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, serta mengakomodasi kekhasan pendidikan pesantren. ‘’Komite III DPD RI mendorong agar revisi UU Sisdiknas benar-benar menghadirkan sistem pendidikan nasional yang inklusif, berkeadilan, dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara wajib memastikan tidak ada anak bangsa yang tertinggal,’’ tegas Filep.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Provinsi Papua Pegunungan, Arianto Kogoya menegaskan pentingnya keberpihakan nyata terhadap kesejahteraan guru honorer yang selama ini masih jauh dari kata layak. ‘’Soal pendidikan memang sering kerap kita alami, maka penting sekali kita perjuangkan kesejahteraan guru terutama honorer. Masa dia hanya menerima gaji 200–300 ribu saja. Ini sangat tidak adil,’’ tegasnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Pengurus Besar PGRI, Jejen Musfah menyoroti sistem penerimaan murid baru yang dinilai belum mampu memperbaiki masalah lama. Bahkan, masalah penerimaan murid baru hampir sama dari tahun ke tahun. ‘’Sistem baru tidak bisa meminimalisir kelemahan sistem lama. Sistem domisili tidak mampu mengubah kesan sekolah favorit di masyarakat karena tidak meratanya kualitas sekolah negeri dan swasta. Akibatnya, berbagai kecurangan dan manipulasi terus terjadi,’’ kata Jejen.
Jejen menyarankan revolusi mental dari semua kalangan. Menurutnya, pendidikan gratis dapat menjadi solusi, karena yang dicari orang tua bukan semata status negeri, melainkan biaya pendidikan. ‘’Selama masih ada sekolah gratis dan sekolah berbayar, baik negeri maupun swasta, kecurangan akan terus berulang,’’ ucapnya.(arz)