Oleh: Dr Kholid, M.Pd │
DALAM konteks linguistik, perbedaan lafaz ‘’shaum’’ dan ‘’shiyam’’ dalam Al-Quran menunjukkan kompleksitas makna yang terkandung dalam praktik puasa. Pendapat Abu Hilal Al-Askari bahwa perbedaan bentuk lafaz mencerminkan perbedaan makna, kata ‘’shaum’’ dianggap lebih umum dan ‘’shiyam’’ lebih spesifik dalam konteks fikih.
Hal berbeda pendapat dari Ibnu Manzur menjelaskan bahwa ‘’shaum’’ mencakup pengertian yang lebih luas, sedangkan pendapat dari Hamzah al-Khalidi menekankan bahwa pilihan istilah dalam Al-Quran mencerminkan tujuan dan nuansa tertentu.
Teori Semiotika Saussure juga mendukung pernyataan bahwa makna ditentukan oleh hubungan dengan kata-kata lain, yang menunjukkan perbedaan semantik antara keduanya. Perbedaan ini memiliki implikasi penting dalam memahami hikmah puasa di bulan Ramadan.
Pertama, ‘’shaum’’ menekankan pengendalian diri, yang mendorong individu untuk menahan diri dari perilaku negatif, menciptakan kondisi mental dan spiritual yang lebih baik. Kedua, hikmah sosial dan solidaritas muncul dari pengalaman lapar dan dahaga, mendorong perhatian terhadap sesama.
Selanjutnya ketiga, melalui ‘’shiyam’’, individu dilatih untuk meningkatkan ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah SWT. Keempat, kedisiplinan dalam menjalankan puasa diperlukan, kata ‘’shiyam’’ menuntut komitmen pada batasan puasa, sementara ‘’shaum’’ lebih luas dalam konteks perilaku sehari-hari. Terakhir, bulan Ramadan menjadi waktu refleksi dan introspeksi, mengajak individu untuk perbaikan diri.
Secara keseluruhan, perbedaan antara ‘’shaum’’ dan ‘’shiyam’’ menggambarkan pelajaran penting dalam praktik puasa. Puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga dari perbuatan buruk, yang berarti berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, dan lebih peka terhadap sesama.
Variasi diksi ini memperkaya pemahaman kita tentang puasa dan mendorong diskusi yang lebih komprehensif mengenai hikmah dan nilai-nilai dalam praktik berpuasa. Dalam konteks ini, istilah-istilah lain yang terkait dengan puasa, seperti ‘’ibtal’’, ‘’siyam’’, ‘’ruqbah’’, ‘’taqwa’’, dan ‘’nafas’’, juga mencerminkan dimensi yang lebih dalam, mengaitkan puasa dengan aspek spiritual, sosial, dan hukum. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada penjelasan kata-kata istilah di bawah ini:
- Ibtal (إبطال)
Dalam konteks puasa, ‘’ibtal’’ berarti penyelesaian atau pembatalan. Menurut para ahli, istilah ini digunakan untuk merujuk kepada konsep dasar puasa sebagai ibadah yang memiliki batasan tertentu dan dapat dibatalkan dalam kondisi tertentu. Pendapat dari Dr Abdul Rahman al-Sudais, seorang pakar tafsir, menjelaskan bahwa pemahaman mengenai pembatalan puasa harus dilihat dalam konteks aturan syar’i yang mengatur cara berpuasa dan kondisi yang memungkinkan seseorang untuk tidak berpuasa.
- Siyam (صيام)
Kata ‘’siyam’’ sering kali digunakan dalam konteks hukum syariah untuk merujuk kepada puasa sebagai tindakan ritual. Menurut istilah dalam fiqh (ilmu hukum Islam), ‘’siyam’’ memiliki pengertian yang lebih formal dan teknis dibandingkan ‘’puasa’’. Pedapat Ustaz Dr Ahmad al-‘Utsaimin, seorang ulama terkemuka dalam bidang fiqh, menyatakan bahwa kata ‘’siyam’’ mencakup kewajiban untuk menahan diri dari hal-hal tertentu selama waktu tertentu yang berkaitan dengan bulan Ramadan dan niat yang harus ada saat melaksanakannya.
- Ruqbah (رقبة)
Secara harfiah, ‘’ruqbah’’ dapat diartikan sebagai pembebasan. Dalam konteks puasa, istilah ini sering digunakan berkenaan dengan praktik berbagi, seperti memberi makan orang miskin atau membebaskan hamba, yang merupakan salah satu cara untuk menebus kesalahan dan mendapatkan pahala. Ditegaskan oleh Dr Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir, menyatakan bahwa puasa bukan hanya tentang menahan diri, tetapi juga memperhatikan orang lain dan berbagi rezeki, sehingga istilah ini memiliki konotasi sosial yang kuat.
- Taqwa (تقوى)
Kata ‘’Taqwa’’ berarti merujuk kepada kesadaran dan pengendalian diri dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jumuhur ulama berpendapat, salah satunya Imam Al-Ghazali dalam karyanya ‘’Ihya Ulumuddin’’, menekankan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai ‘’taqwa’’. Diksi ini mengaitkan puasa dengan proses pembentukan karakter dan spiritualitas, menjadikan tujuan berpuasa lebih dari sekadar menahan lapar, tetapi juga meningkatkan kualitas diri sebagai seorang hamba.
- Nafas (نَفَس)
Nafas merujuk kepada napas atau pernapasan, dan dalam konteks puasa, ia melambangkan keadaan jiwa dan kesadaran spiritual selama menjalankan ibadah puasa. Pendapat dari Dr Hamza Yusuf, seorang cendekiawan Islam, memberikan penjelasan bahwa kesadaran akan setiap nafasku saat berpuasa dapat membawa pada refleksi yang lebih dalam mengenai hubungan seseorang dengan Allah dan bagaimana memahami makna kehidupan.
Puasa dalam perspektif linguistik mengungkapkan makna yang mendalam melalui perbedaan lafaz ‘’shaum’’ dan ‘’shiyam’’ dalam Al-Quran. Para ahli linguistik seperti Abu Hilal Al-Askari, Ibnu Manzur, dan Hamzah al-Khalidi menekankan bahwa berbagai lafaz yang digunakan mencerminkan nuansa makna yang berbeda, di mana ‘’shaum’’ lebih umum, mencakup pengertian menahan diri dari berbagai perilaku negatif, sedangkan ‘’shiyam’’ lebih spesifik dalam konteks fikih. Hal ini sejalan dengan pandangan Ferdinand de Saussure yang menunjukkan bahwa makna kata juga bergantung pada hubungannya dengan kata-kata lain.
Hikmah puasa di bulan Ramadan terhubung erat dengan pemahaman istilah tersebut, di antaranya:
- Kesadaran dan Pengendalian Diri. Kata Lafaz ‘’shaum’’ menekankan pentingnya kontrol diri yang lebih luas, bukan hanya menahan lapar tetapi juga dari sikap negatif.
- Solidaritas Sosial. Puasa mengajarkan empati; dengan merasakan lapar, kita lebih memperhatikan kondisi orang lain, mengaitkan dengan konsep ‘’shiyam’’.
- Peningkatan Spiritual. Bulan Ramadan mendorong kedekatan kepada Allah, di mana ‘’shiyam’’ menjadi praktik ibadah yang melibatkan semua aspek peningkatan spiritual.
- Kedisiplinan dan Komitmen. Tujuan ‘’shiyam’’ mengharuskan komitmen dalam menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, sedangkan ‘’shaum’’ mendorong konsistensi perilaku baik sepanjang tahun.
- Refleksi dan Introspeksi. Bahwa ‘’shaum’’ mengajak untuk melakukan introspeksi dan perbaikan diri selama Ramadan.
Berdasarkan beberapa istilah di atas, dapat dilihat bahwa diksi yang digunakan untuk merujuk kepada puasa tidak hanya memiliki makna literal, tetapi juga mengandung dimensi yang lebih dalam dan berkaitan erat dengan aspek spiritual, sosial, dan hukum. Menggunakan variasi diksi ini dapat memperkaya pemahaman kita tentang puasa dan menciptakan diskusi yang lebih beragam dalam konteks teologis dan praktis. Selain itu, penggunaan istilah yang beragam ini dapat membantu distribusi makna dan mengedukasi umat secara lebih holistik mengenai hikmah dan nilai-nilai yang terkandung dalam praktik puasa.(*)
Penulis adalah Dekan Fakultas Sastra UNW Mataram