MATARAM, LOMBOKTODAY.ID – Pasca dinonaktifkannya oknum dosen UIN Mataram terduga pelaku pelecehan seksual yang dilaporkan ke Polda NTB, pada Selasa (20/5/2025), menimbulkan sejumlah desakan baik dari kalangan mahasiswa UIN Mataram itu sendiri maupun dari aktivis yang mengawal kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satu masukan yang dilontarkan adalah bagaimana mekanisme dan pengawasan di asrama dapat dilakukan secara lebih ketat.
Hal tersebut disampaikan oleh Perwakilan Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, Yan Mangandar Putra, pada Jumat (23/5/2025). Yan mengeluhkan sistem antara anggota bidang yang terdapat dalam struktur pengurusan asrama ternyata digabung antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, aktivitas yang dilakukan berlangsung hingga larut malam, menyebabkan kerentanan terjadinya kekerasan seksual semakin terbuka.
“Rapat seringkali sampai tengah malam sekitar jam 2 dini hari di Asrama Putra lorong antara TKP 1 (Kamar Pribadi P) dan TKP 2 (Ruang Sekretatiat) bersebelahan dengan kamar pengasuh. Perempuan keluar masuk dan nginap di Asrama Putra tanpa ada teguran dari pengasuh dan Satpam kampus. Tidak ada satupun CCTV di Asrama Putra. Pengasuh Asrama Putri dipegang oleh laki-laki yang sampai hari ini masih belum sadar kesalahannya,” ungkapnya.
Menurut Yan, seharusnya putusan Rektor UIN Mataram tidak berhenti pada pencopotan sementara terduga pelaku, namun juga mencopot sementara Pengurus Ma’had dan pihak yang bertanggungjawab akan hal ini. Kebijakan demikian menurutnya dapat mendorong adanya evaluasi menyeluruh di UIN Mataram agar kasus serupa tak terulang lagi di kemudian hari. “Lakukan evaluasi agar tidak ada lagi kondisi rentan yang bisa dimanfaatkan predator!,” tegasnya.
Jika hasil evaluasi ditemukan kesengajaan, lanjutnya, maka kelalaian dari pengurus, Satpam dan lembaga yang seharusnya bertanggungjawab tidak melakukan pengawasan dengan minimnya upaya pencegahan dan membiarkan kerentanan itu terjadi. Kasus kekerasan seksual menurutnya harus ditindak secara tegas hingga ke akar-akarnya agar tak membentuk lingkaran predator yang sewaktu-waktu dapat memangsa korban.
“Jangan sungkan jatuhkan sanksi tegas copot permanen dari jabatannya, skors atau lainnya. Kita terus dukung komitmen Pak Rektor untuk menciptakan kampus yang aman dari predator kekerasan seksual!,” ujarnya.
Selain itu, Perwakilan Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, Joko Jumadi menilai, problem yang terjadi pada kasus kekerasan tahun 2022 lalu, terdapat rekomendasi untuk memberhentikan dosen pelaku kekerasan seksual, tapi hasilnya pelaku malah lebih diutamakan dengan difasilitasi untuk melanjutkan kuliah, “Kalau kayak gini siapa yang harus diberi sanksi,” tanyanya.(mbq)