Tuntutan 12 Tahun untuk Rosiady, dan Pertanyaan Besar: Siapa Sebenarnya yang Korup?
MATARAM, LOMBOKTODAY.ID – Di balik gedung megah Pengadilan Tipikor Mataram, amarah publik beriak sejak pagi. Dari Lombok Timur hingga Sumbawa, dari ruang-ruang akademik sampai pesantren, kabar itu menyebar cepat: Rosiady Husaeni Sayuti, mantan Sekda NTB, dituntut 12 tahun penjara.
Sosok yang selama ini dikenal sebagai birokrat cerdas, bersih, dan akademis itu, kini duduk di kursi pesakitan atas tuduhan korupsi proyek pembangunan NTB Convention Center (NCC), sebuah proyek yang ironisnya tidak memakai uang negara satu rupiah pun.
Tuntutan yang Mengoyak Nurani
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan lantang membacakan tuntutan: 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, subsider enam bulan kurungan. Alasan mereka, Rosiady dianggap melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.
Jaksa menyebut ada kerugian negara Rp15,2 miliar berdasarkan audit akuntan publik, terdiri dari nilai bangunan pengganti Rp7,2 miliar dan royalti BGS Rp8 miliar. Tapi angka itu tidak pernah terbukti di meja persidangan. Tak ada bukti uang keluar dari APBD maupun APBN, tak ada transaksi keuangan negara yang tercatat, dan tak ada aset pemerintah yang berkurang.
Yang ada justru fakta sebaliknya, pembangunan NCC sepenuhnya dibiayai swasta. Negara malah menerima dua gedung baru Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan PKBI.
Ketika Fakta Ditinggalkan, Logika Dibuang
Fakta-fakta itu dibenarkan langsung oleh Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi, Gubernur NTB saat proyek NCC berjalan.
Dalam kesaksiannya di persidangan, TGB menegaskan tidak ada aliran dana dari PT Lombok Plaza kepada Rosiady maupun sebaliknya.
“Tidak ada dana APBD atau APBN yang digunakan dalam proyek NCC. Seluruh pembiayaan berasal dari pihak swasta. Dan tidak ada uang negara yang mengalir kepada Pak Rosiady,” tegas TGB dalam ruang sidang yang hening.
Keterangan TGB menjadi penegasan penting, kepala daerah yang berwenang saat itu saja menyatakan negara tidak dirugikan. Maka tuduhan kerugian negara yang diklaim jaksa menjadi semakin lemah dan kontradiktif.
Ahli keuangan negara Dr. Eko Sembodo pun memperkuat: “Kerugian negara harus nyata, pasti, dan tercatat dalam neraca. Kalau tidak tercatat, itu bukan uang negara.”
Sedangkan Dr. Chairul Huda, ahli pidana, menilai perkara ini tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. “Negara tidak mengeluarkan uang, justru menerima aset. Kalau ada kekeliruan perjanjian, itu urusan administrasi, bukan pidana,” tegasnya.
Logika sederhana yang kini justru dikalahkan oleh tafsir hukum yang janggal.
Gelombang Nurani di Mataram
Pada Senin besok, 6 Oktober 2025, ribuan orang dikabarkan akan datang ke Pengadilan Tipikor Mataram. Dari berbagai penjuru NTB, masyarakat bersiap turun ke jalan. Bukan untuk anarki tapi untuk menyelamatkan akal sehat hukum.
Dari mahasiswa, tokoh agama, akademisi, hingga masyarakat biasa, mereka bersatu menolak kriminalisasi terhadap birokrat bersih.
“Kalau pejabat yang tidak pakai uang negara bisa dipenjara, maka hukum kita benar-benar sudah kehilangan arah,” ujar salah satu tokoh masyarakat Lombok Timur.
Mereka menilai tuntutan jaksa adalah bentuk penghinaan terhadap rasa keadilan. Fakta-fakta hukum telah jelas, tidak ada uang negara keluar, tidak ada kerugian, tidak ada aliran dana, tidak ada yang diperkaya.
Ketika Birokrat Bersih Jadi Tersangka, Hukum Diuji
Rosiady bukan pejabat proyek. Ia seorang intelektual pemerintahan yang bertugas menjalankan kebijakan atas mandat. Tapi kini, ia menanggung beban pidana atas sebuah keputusan administratif yang justru memberi manfaat bagi daerah.
Ahli pidana Chairul Huda menyebutnya gamblang: “Jaksa gagal membedakan antara penyalahgunaan kewenangan administratif dengan tindak pidana korupsi.”
TGB sendiri, yang kala itu Gubernur NTB, tak pernah merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut. Ia bahkan menyebut kerja sama NCC adalah upaya pemerintah daerah membuka investasi, bukan menyelewengkan aset.
“Proyek itu bagian dari pembangunan daerah. Tidak ada motif memperkaya diri, tidak ada uang yang hilang,” ujar TGB di persidangan.
Namun, kebenaran faktual itu kini terancam tertutup oleh retorika pasal yang dibaca kaku.
Rakyat Bergerak, Hukum Diuji
Sidang pledoi (nota pembelaan) besok akan menjadi panggung terakhir bagi akal sehat hukum. Rosiady akan bicara bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh birokrat yang berpotensi dikriminalisasi karena kebijakan administratif.
Di luar gedung, ribuan rakyat NTB akan bersuara. Mereka tidak menuntut pembalasan, tapi kebenaran.
“Kalau negara tidak rugi, tapi orangnya dituduh korup, maka yang korup adalah logika hukum itu sendiri,” kata seorang mahasiswa dengan mata menyala.
Akhir yang Dinanti: Nurani atau Pasal?
Kini, bola ada di tangan hakim. Apakah akan memutus berdasarkan fakta dan hati nurani, atau tetap terjebak dalam doktrin hukum yang kehilangan makna?
Yang pasti, rakyat sudah menilai, hukum yang seharusnya menjadi pelindung keadilan kini berdiri di sisi kekuasaan pasal. Dan jika keputusan nanti masih menghukum Rosiady atas kasus tanpa uang negara, maka sejarah akan mencatat, dii ruang Pengadilan Tipikor Mataram, hukum pernah kehilangan akal sehatnya dan rakyatlah yang mengingatkannya.(ltn)